Penghujung Desember
Penghujung Desember
Di malam hendak
memasuki penghujung Desember, ingatanku serupa ilalang liar yang merambat ke
segala arah. Malam serupa waktu yang tidak ingin cepat berlalu. Di antrean
menunggu giliran pemesanan makanan, kita saling menanyakan apa yang hendak
dipesan. Rutinitas hampir setiap bulan, tempat makan yang sering kita kunjungi
selepas malam rasanya menyimpan beberapa kejadian. Aku membawa baki berisi
pesanan ke lantai dua, memilah tempat duduk yang pas untuk kita berdua.
Beberapa menit dihabiskan untuk saling menyantap. Aku sesekali memerhatikan
mukamu yang kelaparan. Lucu memang. Obrolan singkat dan ringan itu kita
habiskan di jam-jam melewati tengah malam. Aku masih ingin menikmati suasana
kota, aku masih ingin menikmati waktu bersamamu lebih lama, aku tidak ingin
fajar segera tiba.
Kita menikmati kota
yang terus hidup, menyusuri pedestrian sampai ke ujung jalan. Seketika aku lupa
dengan hal-hal yang menyesakkan. Aku hanya ingin tertawa lebih puas bersamamu
malam itu. Aku hanya takut, kau tahu aku hanya takut.
Desember adalah ruang
waktu yang seketika berhenti, aku ditikam rintik-rintik oleh jatuh air. Tahun
demi tahun terlewati, namun tak cukup untuk mendewasakan diri. Rupanya kita
masih harus banyak belajar, baru kemudian bisa saling membahagiakan. Waktu hampir
dua jam menyusuri jalanan rupanya membuatku kembali mengingat, selepas ini,
akankah aku bisa membiasakan diri? Tidak ada lagi cerita keseharian yang sering
kita bagikan, pesan darimu jika ingin keluar bersama teman-teman. Obrolan itu-itu saja sampai lewat tengah malam. Ah tidak, aku
salah. Masih bisa, mungkin kadar keseringannya yang berkurang.
Aku berharap kamu
mengerti. Sungguh aku penakut. Melihatmu yang hangat dan teduh membuatku
semakin takut. Takut jika kamu pergi. Takut kembali menjadi asing padahal sudah
menjadi saling. Aku takut, malah menjadi orang yang paling kau kesali jika aku
tidak menuruti dan membuat aturan yang ku buat sendiri supaya aku tidak
kehilangan apa yang sudah kita bangun. Aku memang pengecut, bersembunyi dibalik
rasa nyaman. Apapun itu, kita sedang berusaha memungut bahagia, kita sedang
berusaha memperjuangkan masa depan. Iya kan? Dengan segala hal-hal sulit yang sedang
kita usahakan untuk kita lalui, nanti pada suatu waktu kita akan bersatu. Aamiin. Namun kali ini, bisakah kita tetap bersama menyusuri waktu?
Selepas Hujan Reda
Selepas Hujan
Reda
Waktu itu selepas maghrib, kau
mengirimiku pesan untuk memastikan perihal janjimu untuk bertemu denganku.
Malam itu hujan baru saja turun. Sepertinya semesta sengaja belum mengizinkan
kita untuk bersua. Tetapi kau bersikeras untuk bisa bertemu dengan alasan tidak
ada kegiatan apapun di rumah. Kita sepakat untuk menunggu hujan reda entah
sampai kapan pun waktunya. Kita masih sibuk menentukan tempat untuk bertemu.
Akhirnya setelah satu jam menunggu, hujan sudah mulai mereda. Kau memintaku
untuk segera bersiap-siap menuju tempat tujuan. Aku juga memintamu untuk segera
meluncur sebelum malam itu hujan datang lagi. Seperti biasa, ada kegugupan yang
ku ciptakan sendiri. Malam itu aku berkutat memilih pakaian apa yang harus ku
kenakan. Padahal ini hanya pertemuan ringan, sekadar makan dan berbincang.
Bukan ingin menghadiri sebuah acara formal.
Setelah sekitar tiga puluh menit
berkutat dengan penampilan, aku meluncur ke tempat tujuan. Kau sudah
mengirimiku pesan beberapa menit yang lalu bahwa kau sudah menunggu di sana.
Aku melaju dengan sepeda motorku di bawah langit malam kota yang dinginnya
menusuk tulang. Bisa ku rasakan bau jalanan bercampur dengan air hujan. Jalanan
tidak begitu padat sehingga aku bisa sedikit melaju dengan kencang tanpa
gangguan. Tempat yang ku tuju tidak begitu jauh, hanya butuh waktu sekitar
sepuluh menit saja dari rumah. Malam itu aku mengenakan baju berwarna hitam
dengan celana jeans panjang. Aku lupa tidak membawa jaket atau sweater atau
semacamnya karena ku pikir jarak yang ku tuju tidak begitu jauh. Ternyata di
tengah perjalanan, angin selepas hujan membuatku menggigil kedinginan. Tak
sampai sepuluh menit aku sampai di tempat tujuan. Ku parkirkan sepeda motorku
tepat di depan tempat itu. Tempat yang ku tuju adalah sebuah tempat makan dan minuman
yang agak besar di kota kami. Ku lihat kau sedang duduk di sudut ruangan dengan
ditemani sebuah piring berisikan nasi dan lauknya. Kau sudah melihatku dari
kejauhan.
Sebelum akhirnya aku melangkahkan kaki
untuk semakin dekat denganmu, aku menarik napas panjang. Ah sialan! Ada debar yang terus saja memainkan perasaan.
Kau tersenyum ke arahku sesaat setelah
aku duduk di hadapanmu.
“Langsung pesan makan di sana.” Katamu
langsung menunjuk ke arah kasir.
“Aku udah makan. Kalau mau pesan minum
aja juga di sana?”
Kau mengangguk.
Aku menuju ke meja kasir dengan melihat
daftar menu minumannya. Dengan cepat aku langsung memesan salah satu minuman,
membayar ke kasir lalu kembali duduk di hadapanmu. Aku terdiam melihatmu yang
sedang sibuk menghabiskan makanan. Beberapa menit kemudian minuman pesananku
datang. Bisa ku rasakan ada keheningan yang datang. Aku juga bingung bagaimana
caraku untuk bisa mencairkan suasana dan menciptakan obrolan panjang. Aku masih
berkutat memainkan ponselku sementara kau sudah selesai dengan makan malammu.
Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja lalu menyeruput minuman yang ada di
hadapanku. Perasaanku masih berdebar. Sementara aku tidak tahu apakah kau
selalu merasakan hal sama padaku. Ah, aku ingin mengumpat menghadapi diri sendiri
yang selalu merasa lemah di depanmu.
“Kamu pulang kapan?” tanyamu tiba-tiba
memecah keheningan.
Ku alihkan pandanganku ke arah dua bola
matamu yang dalam.
“Udah seminggu yang lalu. Masih duluan
kamu pulangnya.” Jawabku seadanya.
Ini merupakan kali pertama aku bertemu
denganmu setelah beberapa bulan ini aku tak melihat batang hidungmu. Ini kali
pertama aku bertemu denganmu setelah sebelumnya kita hanya berbincang via
sosial media. Empat bulan yang lalu saat masih berkutat dengan bangku
perkuliahan di kota perantauan, tiba-tiba ada pesan masuk darimu. Kau datang
kembali setelah sebelumnya hubunganku denganmu sedikit agak menjauh. Sejak itu
ku rasa kau sering mengirimiku pesan. Dan ternyata di liburan kali ini, kau
mengajakku bertemu. Yang kemudian juga aku tahu bahwa setiap kali akan bertemu
denganmu aku merasakan yang sama seperti yang dulu-dulu. Kau masih menjadi
nomor satu.
“Kuliahmu semester ini gimana, Di?”
tanyaku.
“Ya seperti kuliah-kuliah pada umumnya.”
Jawabmu tanpa penjelasan.
Kemudian dia menanyakan hal-hal yang
lain. Obrolan kita mengalir saja. Ku rasakan sudah tidak ada lagi kecanggungan
yang terasa.
Kau bercerita panjang lebar tentang
kehidupanmu di sana, yang kemudian juga kau terbuka perihal keluargamu dan
masalah-masalah yang dihadapinya. Aku mendengarkanmu dengan saksama.
Mendengarkanmu bercerita masih menjadi hal yang membuatku bahagia. Kau juga
mengutarakan harapan-harapanmu di masa depan, bahkan sampai dengan rencana-rencana
yang ku pikir itu sangat privasi yang seharusnya hanya kamu saja yang
mengetahuinya.
“Habis lulus kamu mau ke mana, Da?”
“Kerja mungkin.”
“Kamu suka nggak kerja yang
keliling-keliling ke berbagai daerah gitu?”
“Suka.”
“Kalau gitu, nanti kalau sudah
berkeluarga anakmu gimana?”
Aku terdiam dengan pertanyaannya.
Berpikir keras untuk apa dia menanyakan hal yang masih panjang jalannya.
“Ya itu tergantung juga sih nanti. Kamu
sendiri gimana?”
“Aku lagi nyoba bisnis sekarang. Kuliah
sambil berbisnis.”
“Wah, bagus dong. Bisnis apa emang?”
Dia mendekatkan tubuhnya ke arahku.
Menunjukkan sesuatu di ponselnya, menjelaskan perihal apa yang sekarang sedang
digelutinya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul
sepuluh malam. Obrolan yang ku pikir masih harus dilanjutkan itu terhenti hanya
karena tempat makan itu sudah mau ditutup. Kau beranjak dari tempat duduk. Aku
mengikuti langkahmu. Sebenarnya malam itu aku masih ingin menghabiskan waktu
denganmu.
“Mungkin lain waktu kita lanjutkan ya!
Kamu hati-hati di jalan.” Ucapmu tepat di hadapanku sambil memintaku berjabat
tangan.
Aku memandang ke dalam dua bolamu sambil
mengangguk ringan. Kamu mengusap kepalaku sebentar. Ya Tuhan, ada debar yang
semakin memuncak. Aku memintamu untuk pulang duluan. Ku perhatikan punggungmu
yang semakin lama semakin menghilang tertutupi oleh lalu lalang kendaraan.
Akhirnya, aku melaju dengan sepeda motorku menuju ke rumah. Tiba di rumah, aku
mengetik pesan untukmu mengucapkan terima kasih untuk waktumu. Kamu
membalasnya, aku tersenyum tiba-tiba.
Iya,
terima kasih sudah bersedia berbagi cerita selama kita tak berjumpa meskipun ku
tahu ada beberapa cerita dari masing-masing diri kita yang belum dibagikan.
Terima kasih, karena lagi-lagi kau telah mempercepat detak jantungku hingga
mencapai kecepatan akhir. Entah kapan lagi kita bisa berbagi cerita, tetapi ku
harap waktu mengizinkan lagi kita untuk bersua.
Kota Istimewa (2)
Kota Istimewa
(2)
Barangkali aku sudah pernah bercerita
padamu beberapa tahun yang lalu tentang kota yang saat ini jadi tempat
perantauanmu. Usiaku tujuh belas tahun waktu itu—liburan semester empat sekolah
menengah atas, ketika masih menjadi remaja labil perihal memilih tujuan masa
depan, pun terlalu dini mengenal kisah percintaan. Halah, itu sesuatu hal yang
sangat klise! Sore itu hujan turun dengan sangat deras. Aku menginjakkan kaki
untuk kali pertama di tempat itu. Perjalanan hari itu lama sekali, sesaat
sebelum adzan maghrib berkumandang, aku sudah menyusuri salah satu gang di
salah satu pusat perbelanjaan di bawah langit kota yang hitam.
Malam hari selepas hujan turun, aku
berkeliling di sepanjang koridor jalan yang menjadi salah satu citra kawasan di
tempat itu. Aku yang belum tahu soal penataan kawasan perkotaan tak paham betul
kenapa tempat semacam itu selalu menjadi daya tarik bagi para pengunjung dari
berbagai penjuru kota. Yang ku tahu mungkin ada banyak sekali pusat oleh-oleh
dan perbelanjaan sehingga menjadi sebuah pusat sentral bisnis kota (Central Business District). Waktu itu
belum se rapi sekarang, ketika jalur pejalan kaki digunakan sebagai ruang
parkir dan pedagang kaki lima menjalar kemana-mana. Rasanya tak enak dipandang.
Namun bukan berarti penataan sekarang sudah sesuai dengan kenyamanan pendatang,
hanya saja memang sudah lebih baik dari pertama kali aku berkunjung. Entahlah,
sebenarnya aku tak begitu paham urusan begituan. Tempat ini memang selalu
hidup, tak pernah sepi oleh pengunjung. Barangkali juga menjadi sebuah tempat
kebanggaan di kota yang sekarang menjadi tempat singgahmu. Sejak itu juga,
entah bagaimana pun ceritanya aku mulai bertukar pesan lagi padamu. Malam itu
juga pesanmu datang, menemaniku sampai tengah malam.
Aku membawakanmu satu kaos khas jogja
katanya, padahal sepertinya sama saja seperti kaos-kaos di kota tempat
tinggalku. Aku tidak berani memberikannya langsung padamu, jadi ku titipkan
saja. Barangkali juga itu satu-satunya barang yang bisa ku berikan sebelum
akhirnya kita memilih jalan masing-masing. Aku tak ingin menganggumu lagi. Namun
ternyata dugaanku salah. Salah besar!
Sudah hampir empat tahun sejak aku
menceritakannya. Aku pernah merapal harapan, barangkali suatu saat aku bisa kembali
lagi ke kota itu bersama orang yang istimewa juga. Kota yang sekarang menjadi
tempat kau meraih masa depan dan menggantungkan harapan itu sudah menjadi salah
satu kota favoritku jauh sebelum aku tahu bahwa kau juga menyertakan tempat itu
di daftar tujuan hidupmu. Aku tidak tahu apa yang sudah aku lakukan selama
beberapa tahun belakangan ini, kenikmatan tak terhingga yang Tuhan berikan
seperti selalu memberiku kekuatan dan kemudahan. Atas segala harapan yang
selalu bersemayam, kau terus saja membuatku ingin kembali pulang. Kali ini
terbawa lagi langkahku ke sana. Izinkan aku untuk selalu bisa berkunjung ke
kotamu, menemuimu kemudian menghabiskan waktu. Bawa aku jalan, kemana saja
menyusuri kota di bawah pongahnya suasana sekitar. Aku tak peduli berapa pun
waktu yang aku lewatkan, asalkan denganmu saja aku tenang. Kota istimewa, aku ingin
terus kembali menikmati hari demi hari bersamamu sampai entah kapan batas
waktunya. Semoga hari ini dan seterusnya, kota ini selalu menjadi salah satu tujuan
kita berdua berbagi kisah suka dan duka.
Namun yang meski kau paham, barangkali
aku bukan sebaik-baiknya orang. Jika memang suatu saat kau mendapatiku seperti
tidak lagi menjadi orang yang peduli, percayalah sesungguhnya aku hanya sedang
menyembunyikan cemasku sendiri. Seharusnya kau juga sudah mengerti, aku memang
tak peduli perihal berapapun waktu yang sudah ku habiskan, nyatanya kau masih
tak tergantikan. Semoga kau pun paham, bahwa di dadaku selalu saja ada debar
yang kau ciptakan setiap kali kita bersua. Tak usah kau tanyakan lagi, tetaplah
di sisi.
Yogyakarta berhati nyaman, itu slogan
kotamu, kau tahu? Tetapi hatimu tetap tempat yang paling nyaman. Aku bukan
sedang memberimu pujian. Maaf, aku memang berlebihan. Tetapi tunggu aku
berkunjung ke kotamu untuk sekadar menemuimu di sela-sela waktu yang tak
semudah dulu.
Malam di Akhir Bulan
Malam
di Akhir Bulan
Aku
sedang mengeja deretan kenangan yang disajikan oleh sepi. Di bawah langit hitam
itu jalanan nampak ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Aku memasuki
sebuah gang dengan cahaya yang remang-remang. Gang yang diapit oleh
bangunan-bangunan berlantai lebih dari dua. Aku masuk melalui pintu pagar salah
satu gedung itu. Sudah banyak sekali kendaraan yang terparkir. Pun suara riuh
orang-orang yang sedikit menganggu telingaku. Aku masih duduk di atas sepeda
motor. Memerhatikan salah satu gedung yang ada di sana. Di lantai tiga. Itu dia
seseorang ada di sana. Aku bersama seorang teman yang ku paksa untuk
menemaniku. Dia merajuk minta segera menuju ke atas gedung. Sementara aku tidak
mau sebelum acara itu dimulai. Berulang kali aku membuka botol air mineral yang
ku bawa dari rumah. Barangkali bisa untuk sedikit meredakan detak jantung yang
sudah mulai sulit untuk dikendalikan. Rasanya sama saja. Sesaat sebelum aku
memutuskan untuk melihatnya, ada sesuatu yang terus saja memainkan perasaan.
Aku kemari dengan diam-diam. Mungkin itu sebabnya ada sedikit kekhawatiran jika
ternyata di tengah jalan aku bertemu dengannya. Temanku duduk di musholla yang dekat dengan
tempat parkir. Aku menyusulnya. Saling diam beberapa saat melihat riuh
orang-orang yang antusias menuju ke atas. Tiba-tiba aku ingin pulang—tidak mau
melihatnya berbicara di atas panggung, padahal sudah sekian lama aku tidak
pernah melakukannya. Tetapi aku sudah jauh-jauh pulang ke kota ini untuk sekadar
bisa melihatnya tampil di depan banyak orang. Jika saja dia tahu, malam itu aku
cemburu. Sebab seseorang yang lain juga datang di acara itu.
Barangkali
waktu menuju dimulainya acara, akhirnya aku masuk ke ruangan itu. Menaiki satu
per satu anak tangga untuk sampai di lantai tiga. Sebelum menuju ke ruangan,
aku bertemu dengan salah satu teman sekolah dulu yang menjadi panitia di acara
itu. Dia memberikan tiket masuk yang sudah ku pesan dari jauh-jauh hari. Kita
mengobrol sebentar kemudian masuk ke ruangan. Beberapa langkah setelah memasuki
ruangan itu, ku dapati dia sedang berdiri di baris belakang. Jantungku berdetak
lagi lebih kencang. Pandanganku langsung tertuju ke arahnya. Dia mendatangi langkahku.
Namun sebelum itu, dia sudah terlebih dahulu menyapa temanku yang selangkah
lebih depan daripada aku. Aku menyapanya. Seperti ada raut muka penuh tanda tanya
kenapa malam itu aku datang. Dia mempersilakanku dan temanku duduk di baris
belakang, mengobrol sebentar kemudian dia bergegas kembali bersama
teman-temannya.
Aku
tahu dibalik rasa keinginanku untuk bertemu, ada seseorang lain di ruangan ini
yang juga ingin melihatnya. Malam itu ku rasa dia tidak tahu jika aku mengetahui
seseorang itu duduk di kursi paling depan. Tiket spesial! Padahal sama saja. Entah
sebelum ini mereka sudah saling menyapa atau belum, aku tidak tahu. Tidak mau
tahu! Malam itu aku hanya ingin melihatnya, cukup itu saja. Perihal ada
seseorang yang lain yang juga ingin melihatnya, bukan urusanku. Dia menuju ke
atas panggung beberapa menit kemudian. Riuh suara dan tepuk tangan dari
penonton sedikit membuatku lega. Ku pikir malam itu dia sempurna. Meskipun aku
tidak begitu jelas melihat raut mukanya, tetapi setidaknya aku masih bisa
mendengar suaranya yang menggema seisi ruangan. Dia duduk di kursi yang ada di
panggung. Sangat dekat dengan orang itu, aku tahu. Malam itu setelah acara
selesai, ku putuskan untuk segera pulang karena aku tidak ingin melihat suasana
yang barangkali membuat hatiku sedikit tidak tenang. Padahal sebelum memasuki
ruangan ini pun, aku sudah tidak tenang. Aku cemburu, tetapi bahkan malam itu
aku tidak mengerti bagaimana mengungkapkan perasaanku kepadanya yang sudah
terhimpun beberapa lama. Aku cemburu, sebab itu aku tidak mau tahu malam itu
dia dihampiri seseorang itu atau tidak. Aku cemburu, sebab itu aku memilih
melangkahkan kaki secepat mungkin meninggalkan ruangan itu. Maaf, malam itu aku
benar-benar cemburu mengetahui seseorang lain masih saja memikirkanmu, sampai
sekarang!
RESAH
RESAH
Aku sedang duduk di meja baris paling
depan. Mendengarkan dosen berbicara, tetapi konsentrasiku tidak menuju ke sana.
Akhir-akhir ini seperti sedang banyak sekali pikiran. Memikirkan hal-hal yang
juga tidak begitu penting yang kemudian menjadi beban. Berlarut-larut diam dan
lambat sekali berjalan untuk memulai suatu hal. Aku terus berkutat dengan
ponsel di atas meja. Membuka berulang kali aplikasi media sosial yang
sebenarnya hanya itu-itu saja. Terkadang hanya memandang ejaan namamu yang
selalu terpampang di baris riwayat obrolan paling atas. Aku ingin berkeluh
kesah. Menceritakan semuanya saat ku kira tak ada siapa-siapa yang mampu
mendengarkan. Kecuali seorang sahabat yang jauh di suatu tempat yang aku belum
bisa menjangkaunya. Mungkin suatu hari nanti. Semoga. Hanya itu saja. Selain
kau, dia, dan keluarga tentunya. Tak ada lagi. Aku ingin berkirim pesan tapi
takut menganggu ritual keseharianmu. Jadi ku urungkan. Kadang jauh darimu
sedikit membuat pikiranku memikirkan hal-hal yang tak seharusnya.
Kemarin pagi ada sedikit hal yang selalu
membuat hati menjadi tidak tenang. Akhirnya aku mengirimimu pesan. Aku sadar
masih memelihara sifat yang tidak seharusnya aku lakukan. Mencari hal tentang
orang asing yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Tetapi rasanya selalu
saja membuat pikiran bagai dikoyak-koyak kekhawatiran. Aku menyukaimu, ketika
pada saat yang sama ada orang lain juga yang masih merindukanmu. Aku tidak
ingin menyakiti siapapun. Tetapi seolah apa yang membuatku bahagia ada orang
lain yang juga ikut terluka. Aku harus bagaimana? Saat ku tahu semua tulisannya
masih ditujukan untuk menceritakan sosokmu. Aku tidak tenang, sungguh! Kau
benar perasaan orang tidak bisa dipaksakan. Aku paham betul tentang hal ini.
Sebab itu aku tidak melarang siapapun yang masih menaruh harap padamu. Biarkan
saja. Termasuk orang entah yang mungkin juga masih memikirkanmu. Aku ingin diam
saja. Tolong beri kekuatan untuk tidak berbuat apapun yang mungkin dapat
menyakiti dan menyinggungnya. Aku ingin diam saja, meski ku tahu akan ada cemburu
yang terus saja mengganggu.
Mungkin hanya pada kata semoga aku hanya
bisa memasrahkannya. Aku tidak akan pernah lupa apa yang pernah kau katakan. Ke
depan mungkin angin akan berhembus lebih kencang. Barangkali segala hal yang
kau langitkan untukku akan menjadi hal yang bisa saling menguatkan. Tapi tetap
saja aku tidak tenang!
Laki-laki Tua
Lelaki Tua
Sudah beberapa hari ini aku melihat
seorang lelaki tua dengan bajunya yang kumal duduk sendirian di depan sebuah
ruko di perempatan jalan. Aku selalu
menjumpainya di malam hari setiap jam sembilan malam. Lelaki itu selalu membawa
barang-barang yang dibungkus plastik hitam besar. Plastik itu selalu memenuhi
sepeda tuanya yang ia parkirkan tepat di sampingnya. Barang-barang itu mungkin
saja dagangannya yang belum juga terjual. Rumahku yang tidak jauh dari
perempatan jalan selalu merasa iba, tetapi tetap saja tak lantas membuatku
mendekatinya—hanya memerhatikannya dari kejauhan dan mengikuti gerak-gerik
lelaki itu.
Malam berikutnya kembali aku melihat
lelaki tua itu duduk sendiri di depan ruko. Sesekali ia menundukkan wajahnya
yang sedikit dihampiri rasa kantuk dan sesekali pula ia memainkan barang-barang
yang ada di hadapannya. Lelaki itu ternyata seorang penjual mainan keliling. Dari
kejauhan sesekali ku lihat lelaki itu dihampiri oleh beberapa orang. Entah
hanya untuk sekadar memberinya sebungkus makanan atau benar-benar membeli
mainan yang ia jualkan. Sebenarnya aku sendiri berkeinginan untuk dapat
mendekatinya. Barangkali ada sebuah cerita yang tak terduga yang bisa ku dengar
langsung dari sosoknya, atau mungkin aku bisa menjadi teman mengobrolnya disaat
kebosanannya menunggu pembeli datang. Atau mungkin juga, dia benar-benar sedang
butuh seseorang. Atau mungkin? Berbagai pertanyaan terus saja mengisi penuh
pikiranku. Mengapa lelaki itu selalu berada di sana sampai larut malam? Di mana
istri dan anaknya? Di mana juga tempat tinggalnya?
Malam selanjutnya hujan membungkus kota.
Seperti biasa di depan ruko itu sosok lelaki dengan rambutnya yang sudah
memutih duduk dengan ditemani sepeda tuanya. Dia berlindung dari derasnya
tetesan hujan di bawah atap yang ada di depan ruko itu. Bajunya yang kumal
tipis seperti tidak bisa melindunginya dari angin malam yang memilukan tulang.
Ku lihat ekpresi mukanya seperti sedang kelaparan. Aku mengumpat pada diri
sendiri. Ah sialan! Ya Tuhan, kasian
sekali. Kenapa aku seperti menjadi orang yang tidak peduli?
Dua hari kemudian aku tak melihat lelaki
itu seperti biasanya. Rasa penasaran tiba-tiba muncul mengingat terakhir kali
aku melihatnya ketika ia sedang duduk sendirian ketika hujan datang. Pikiran-pikiran
aneh sempat terlintas. Sempat juga berharap ia datang tiba-tiba karena malam
ini aku berniat untuk mendekatinya. Sampai tengah malam datang, orang yang ku
tunggu tak juga tiba.
Akhirnya, malam berikutnya aku
melihatnya kembali sedang duduk di depan ruko itu. Kali ini barang yang ia bawa
hanya sedikit. Bisa ku hitung hanya ada tiga plastik hitam, tidak seperti
biasanya yang membawa dua kali lipatnya. Kali ini juga aku tidak melihat sepeda
tuanya yang selalu ia parkirkan di samping tempatnya duduk. Malam itu juga aku
mendekatinya.
“Maaf, pak boleh saya duduk di sini?”
tanyaku pada lelaki yang berbaju kumal itu ketika ia akan menata barang
dagangannya.
“Silakan.” Jawabnya singkat.
“Terima kasih, pak.” Kataku berusaha
sesopan mungkin sambil duduk di sebelahnya. Ku lirik lelaki itu diam termangu
sambil mempermainkan salah satu mainan yang ia jual. Nampaknya masih menunggu
obrolan panjang tercipta.
“Bapak sudah lama di sini?” tanyaku sekadar
basa-basi memecah keheningan untuk sedikit mencairkan suasana. Ia menoleh dan
menatapku sambil tersenyum sebentar. Di tengah lalu lalang kendaraan karena
dekat dengan perempatan jalan dan hanya ditemani oleh cahaya lampu jalanan,
nampak jelas sorot mata yang menyimpan banyak sekali kecemasan.
“Bapak dengar suara saya?” tanyaku
sekali lagi karena suara bising kendaraan itu sedikit menganggu percakapanku
dengannya.
“Dengar, mbak. Saya tiap malam di sini.”
Jawabnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Aku terdiam sejenak, kemudian melihat plastik
yang ku bawa dari rumah berisi minuman dan sebungkus makanan yang sengaja aku
bawa untuknya. Aku sedang berpikir kalimat apa yang harus ku utarakan untuk
memberikan plastik itu agar lelaki itu tidak tersinggung dengan apa yang ku
berikan.
“Pak, saya beli makanan buat teman. Tapi
ternyata dia tidak di rumah. Jadi ini buat bapak saja ya.”
Lelaki itu menoleh ke arahku sekali lagi
dengan tatapan tajam. Tangannya kemudian meraih plastik yang ku ulurkan ke
arahnya seraya mengucapkan terima kasih padaku. Malam itu ku rasa belum ada
orang yang menghampirinya selain aku. Jadi dagangannya belum ada yang laku.
“Sepeda bapak di mana ya? Yang saya tahu
bapak punya sepeda yang sudah tua yang selalu bapak parkirkan di sini.” Tanyaku
sekali lagi sambil menunjuk tempat yang selalu menjadi parkir sepedanya.
“Sepeda tua saja sudah dijual, mbak
kemarin. Istri saya sakit dan tidak ada biaya pengobatan,” Katanya dengan suara
yang berat.
“Rumah saya di ujung kota sana. Semenjak
sepeda itu dijual, setiap pagi saya kalau jualan dari satu tempat ke tempat
lainnya selalu naik bus.” Lanjutnya.
“Tiap malam saya selalu melihat bapak
duduk di sini.”
“Iya mbak, saya tidak mau pulang sebelum
beberapa mainan ini terjual.”
Nada suaranya semakin berat. Bisa ku
lihat seperti ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan. Bapak itu menjual
dagangannya dengan berkeliling di sekolah-sekolah kota ini.
Bapak itu dulu seorang pegawai negeri.
Sebab sesuatu hal, ia melepaskan pekerjaannya. Ternyata setelah itu, kesulitan
hidup kerap menghampirinya. Ia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dua
anaknya yang sudah berkeluarga entah di mana tak pernah mengunjunginya. Malam
itu waktu mendadak lenyap tak terduga. Obrolan panjangku dengan lelaki itu
sudah cukup membuat rasa penasaranku hilang. Malam itu juga aku sudah
meyakinkannya untuk bisa menjadi temannya ketika ia sedang sendirian menunggu
pembeli datang. Malam itu juga aku membeli beberapa mainan yang ia jual
meskipun aku tidak membutuhkannya. Malam itu juga, ada pelajaran yang berharga!
Ternyata Sudah Satu Tahun yang Lalu
Ternyata Sudah Satu Tahun yang Lalu
Satu tahun yang lalu di bulan yang sama,
tetapi entah tanggal berapa karena aku tidak begitu mengingatnya, tiba-tiba kau
datang menyapa. Kebingungan dan rasa tak percaya membuatku sedikit
bertanya-tanya. Malam itu tanpa terduga, pesanmu masuk via akun sosial media.
“Hai” sapamu. Ku balas pesan itu beberapa menit kemudian. Kau menanyakan
kabarku. Ku jawab baik-baik saja kemudian menanyakan hal yang sama padamu. Kita
terus bertukar pesan sampai menciptakan obrolan basa-basi. Ketika itu aku tak
begitu memikirkan perihal kedatanganmu. Sebab ku pikir itu hal yang wajar
sebagai bentuk komunikasi seorang teman. Beberapa hari kemudian ternyata
pesanmu sering datang tengah malam. Kadang aku membalasnya saat itu juga jika
memang masih terjaga, atau baru ku balas keesokan paginya karena terkadang aku
tidak tahu jika ada pesan masuk darimu. Aku masih menanggapi dengan biasa saja.
Namun suatu ketika ada sesuatu yang terus membuatku penasaran dan
bertanya-tanya. Beberapa hari setelah itu ku dapati kabar ternyata kau sudah tidak
lagi menjalin hubungan. Aku terdiam. Itukah sebabnya kau kembali menyapa?
Ketika itu aku tidak mau berburuk sangka. Ku tanggapi kedatanganmu dengan
senyuman. Aku sudah cukup meyakinkan hati bahwasanya pikiranku bukan lagi
tentangmu. Oleh sebab itu, aku menganggap kedatanganmu adalah bentuk menjaga
komunikasi kita sebagai seorang teman. Ku akui waktu itu aku sedang
menerka-nerka perasaan. Aku sedang menyukai temanku sendiri. Orang itu sering
mengajakku keluar untuk sekadar makan atau memintaku untuk menemaninya
mengerjakan tugas. Entah aku yang berlebihan atau tidak, orang itu sering
memberikan perhatian yang kemudian selalu membuatku tersenyum kecil. Kau
datang, ketika pada saat yang sama aku mencoba membuka celah bagi orang lain.
Intensitas waktuku bersama orang itu
semakin sering, kau tahu? Saat itu aku tidak ingin menyimpulkan rasaku terlalu
jauh, aku belum begitu yakin untuk mengatakan bahwasanya aku menyukainya.
Terkadang, pesanmu masih saja datang. Menciptakan kalimat obrolan yang kemudian
ada sedikit sekali perhatian darimu. Saat itu aku seperti menjadi orang yang
munafik. Aku bingung dengan apa yang ku rasakan. Di satu sisi aku suka menikmati
waktu kebersamaan dengan orang itu, dia sering bersikap jail dengan tingkah
konyolnya kemudian aku akan pura-pura marah di hadapannya. Tetapi di sisi lain,
aku juga seperti merasa bahagia jika pesanmu datang menyapa. Ada suatu hari di
mana saat itu sudah beberapa hari pesanmu tidak datang lagi, ku akui waktu itu
aku merindukanmu. Entah karena kamu sedang sibuk dengan kegiatan perkuliahanmu
atau dengan komunitasmu, aku tidak tahu. Yang jelas, aku rindu. Sempat aku
membaca lagi pesan-pesanmu yang terdahulu. Sempat juga berpikiran untuk
giliranku menyapamu terlebih dulu, tetapi aku takut menganggumu. Jadi ku urungkan.
Aku masih mencoba fokus dengan apa yang ada di depan. Aku sempat merindukanmu,
tetapi semakin lama kerinduan itu akhirnya pudar karena tergantikan oleh waktu
bersama orang itu. Beberapa hari kemudian, akhirnya ku beranikan diri
mengirimimu pesan. Kau membalasnya, aku pun membalasnya beberapa kali kemudian
ku biarkan saja pesanmu sampai aku tidak membalasnya lagi. Mungkin saat itu kau
menunggu balasanku karena memang pesanmu sedikit agak panjang. Maafkan, aku
sedikit tidak memedulikanmu waktu itu.
Semesta berjalan, semua bergerak maju
dan waktu terus berpacu. Kebingungan atas apa yang ku rasakan akhirnya terjawab
juga. Di akhir semester ganjil mendekati liburan, hubunganku dengan orang itu
sedikit menjauh. Ku akui hal itu sedikit membuatku merasa kehilangan. Ketika itu
juga kita sudah jarang bertukar pesan. Ada suatu keanehan yang ku rasakan dari
apa yang orang itu lakukan. Beberapa hari setelah liburan tiba, orang itu
mengungkapkan perasaan. Aku memang sempat menyukainya, tetapi aku sama sekali
tidak pernah mengharapkan hubungan yang lebih dengannya. Tidak pernah! Aku
berani bersumpah tidak pernah ada pikiran semacam itu! Aku sudah menganggapnya
teman dekat. Aku tidak ingin dengan apa yang ku rasakan, justru aku
kehilangannya sebagai seorang teman. “Aku suka kamu.” Katanya. Ku jawab dengan
mengatakan hal yang sama. “Aku kagum padamu.” Kataku. Aku yakin apa yang ku
rasakan padanya hanya bentuk kekagumanku sebagai seorang teman karena dia
selalu bersikap baik. Dia hanya mengungkapkan perasaannya. Tidak ada hal lain.
Sejak itu ada sedikit kelegaan yang menghampiriku. Aku tidak sakit hati,sama
sekali tidak! Hubunganku dengannya masih berlanjut sebagai seorang teman.
Beberapa hari kemudian, pesanmu datang. Kau mengajakku bertemu di salah satu
tempat di kota ini, kota tempat tinggal kita. Kau tahu? Meskipun aku telah
mengakui pernah menyukai orang lain, tetapi saat itu aku merasakan ada debar
yang tak biasa sesaat setelah kita memutuskan untuk bertemu. Malam itu untuk
kali pertama aku melihatmu setelah berbulan-bulan kita tidak bertemu. Ada debar
yang tak biasa yang terus saja memainkan perasaan. Ah, ini hanya reaksi karena sudah lama tak berjumpa! Kataku
menenangkan diri. Kau terbuka perihal kehidupanmu. Kita saling bercerita
berbagi pengalaman selama tidak berjumpa. Gaya berceritamu masih saja sama. Aku
terus memerhatikan ke dalam dua bola matamu. Malam itu waktu kebersamaan kita
hanya sebentar. Kemudian kita pulang. Tiba di rumah, aku mengetik pesan untukmu
mengucapkan terima kasih untuk semua waktumu. Kau membalasnya, aku tersenyum.
Beberapa hari kemudian aku masih
menanggapi pertemuan pertama itu dengan biasa saja. Perasaanku kosong tak ada siapa-siapa.
Karena ternyata baru ku sadari kekaguman dan rasa sukaku pada orang itu hanya
sementara. Bukan cinta yang tepat menyentuh inti jantungku. Dia hanya singgah.
Aku baru tahu itu. Pertemuan keduaku selama liburan semester ganjil kemarin
terjadi setelah beberapa hari sejak pertemuan pertamaku denganmu. Malam itu kau
datang ke rumah temanmu, yang juga temanku. Aku membawa satu orang temanku,
yang juga temanmu. Iya sedikit rumit ya. Intinya aku dan kamu bertemu bersama
dua orang teman kita. Dua jam pertama seperti sulit menciptakan obrolan
panjang. Di sisa waktu satu jam terakhir, justru obrolan kita semakin serius
saja. Kau masih terbuka dengan kehidupanmu. Malam itu juga aku memberanikan
diri bertanya perihal penyebab putusnya hubunganmu. Tentu aku sudah biasa saja.
Jika tidak, aku tidak akan pernah berani menanyakannya. Kamu terbuka, bercerita
panjang lebar namun lagi-lagi waktu tega menghentikan. Sudah pukul sebelas
malam, aku dan temanku harus pulang. Kau berdiri dari tempat dudukmu,
mengulurkan tangan kepadaku sambil tersenyum. Ku balas uluran tanganmu dan
memintamu untuk berhati-hati di perjalanan pulangmu. Kau mengangguk.
Aku tiba di rumah pukul sebelas malam
lebih. Beberapa menit kemudian aku langsung tertidur. Keesokan paginya ternyata
ada pesan darimu yang kau kirimkan sekitar pukul satu pagi. Kau bilang masih
ingin bercerita banyak denganku. Kebetulan juga hari itu kau akan berangkat ke
kota perantauanmu. Ku balas pesanmu. Beberapa jam kemudian kau mengirimiku lagi
pesan ucapan pamit karena akan berangkat ke kota orang. Tanpa ku sadari aku
tersenyum sendiri. Hati-hati di jalan,
beri kabar kalau sudah sampai tujuan. Aku mengirim pesan itu dengan
perasaan yang tak karuan.
Setelah itu, ku rasa kita sering
bertukar kabar. Aku tidak ingin terburu-buru menyimpulkan perasaan. Aku takut
jatuh hati lagi padamu. Dan ku rasa sekarang aku benar-benar jatuh. Aku tahu
satu hal. Bahwa sekeras apapun aku mencoba melupakan rasa dan berusaha
menggantikanmu, perasaanku pasti kembali lagi padamu. Maaf, aku tidak mengerti.
Aku percaya ada alasan terbaik yang diberikan Tuhan kenapa sampai sekarang aku
padamu masih saja sama.
Surakarta, 26
Agustus 2017.