- Home »
- Cerita bersama Bapak
coretan busukk
On Selasa, 01 Desember 2015
Cerita bersama Bapak
Hujan
membungkus kota. Menciptakan irama yang romantis di setiap tetesannya. Sudah lima
belas menit aku duduk di sini menunggu kereta yang akan membawaku pulang. Masih
ada sepuluh menit lagi sebelum kereta tiba di stasiun. Aku terdiam sambil
mengamati setiap inci tangisan alam. Duduk termangu mendengarkan suara hujan
yang berisik menghantam atap stasiun. Hujan selalu membawa kesejukan. Sebab
itulah aku menyukainya. Namun hujan juga bisa membuat seseorang mengingat
peristiwa masa lampau. Seperti yang dikatakan oleh kebanyakan orang bahwa hujan
memiliki kemampuan untuk meresonansikan ingatan masa lalu. Selain itu, para
ilmuwan juga menyimpulkan bahwa di dalam hujan ada lagu yang hanya bisa
didengar oleh mereka yang rindu. Hujan membuat seseorang rindu. Ada perasaan
bahagia di dalam hati. Sebab sebentar lagi aku akan pulang ke kampung halaman,
tempat di mana segala kerinduanku kepada kedua orang tua akan segera terobati.
Sudah
dua bulan aku berada di kota perantauan untuk menimba ilmu. Dua bulan itu pula
aku belum pernah bertemu dengan ibu dan bapak. Terakhir kali aku memeluk mereka
saat mengantarku di kota ini. Aku ingat hari itu ibu menangis memelukku sambil
memberikan nasihat karena akan meninggalkanku sendirian di kota orang.
Sementara bapak yang berdiri di samping ibu hanya bisa menyaksikan adegan itu.
“Dia
akan pulang, tidak akan lama di kota ini. Tidak usah bersedih, Bu.” Kata bapak
dengan suara berat.
Bapak
juga memelukku dengan erat. Tak ada kata-kata yang dikeluarkannya. Aku tahu bapak
menahan tangisnya, tetapi beliau tidak ingin menunjukkannya padaku. Sedetik
kemudian mereka melangkah meninggalkanku. Saat itu juga tangisku kembali pecah.
Aku tersenyum getir mengingatnya.
Tiba-tiba
kereta yang ku tunggu tiba. Petugas kereta api segera menyuruh penumpang untuk
masuk ke gerbong. Aku berdiri dari tempat dudukku lalu berjalan dengan cepat
menuju gerbong kereta api. Hujan masih turun dengan deras. Kali ini yang ku
dengar suara hujan yang menghantam atap gerbong. Aku duduk di kursi yang sudah
tertulis di tiket kereta api. Kemudian aku kembali terdiam menatap keluar
jendela. Sedetik kemudian aku memejamkan mata. Sekali lagi, aku suka hujan. Aku
suka gemuruh sesekali menggelegar di antara bunyi kecil tetesannya. Bukankah
sebuah komposisi musik yang romantis? Lambat laun aku mendengar sebuah irama.
Aku tersenyum. Sebelum ini aku sudah mengabari bapak untuk menjemputku di
stasiun kota kami pukul sembilan malam. Aku merindukan beliau, entah mengapa
aku sangat merindukannya.
Akan
ku ceritakan sedikit tentang keluargaku.
Aku
dibesarkan di keluarga yang sederhana. Kedua orang tuaku bekerja. Aku adalah
anak pertama dari empat bersaudara. Usiaku baru menginjak delapan belas tahun.
Dari kecil aku dekat dengan ibu. Aku selalu bercerita dengan ibu tentang apapun
kejadian yang ku alami. Namun bukan berarti aku tidak pernah berbicara dengan
bapak. Bapak adalah orang yang keras dan disiplin dalam bertindak. Bapak tidak
suka dengan basa-basi, bapak tidak suka dengan cerita-cerita. Sebab itulah aku
tidak pernah bercerita dengan beliau. Bapak adalah sosok pekerja keras dan
pemberani. Sebagai seorang pemimpin keluarga, bapak selalu berusaha memenuhi
apapun kebutuhan keluarganya, termasuk memenuhi apapun yang aku inginkan. Yang
selalu bapak tanamankan dalam mendidik kami adalah, jadilah orang yang pemberani!
Aku
masih memejamkan mata. Tiba-tiba ingatan berputar menaiki mesin waktu jauh ke
masa lalu. Aku mengingat masa kecilku. Dahulu saat aku masih duduk di bangku
sekolah dasar, bapak selalu mengajakku ke pekarangan sawah dengan motornya.
Kami pergi pada sore hari. Sebab di waktu itu matahari sudah tidak terlalu
panas dan pemandangannya juga akan terlihat memesona. Kami hanya berjalan-jalan
tak tentu arah—menghabiskan hari sambil
menunggu petang datang. Terkadang bapak berhenti di depan sebuah sawah
yang tidak terlalu luas. Sawah tersebut ditanami tanaman tebu.
“Ini
sawah bapak, tidak terlalu luas. Nanti kalau sudah panen, tebunya akan diolah
menjadi gula.”
Aku
hanya terdiam sambil menganggukkan kepala saat mendengar ucapannya.
Aku
tidak tahu persis sawah ini dipelihara oleh siapa. Mungkin teman dekat bapak
atau saudara bapak. Yang jelas sawah
ini memang milik bapak—yang merupakan
pemberian almarhum orang tuanya. Terkadang di hari
libur, bapak menyempatkan untuk menggarap sawahnya. Pekerjaan di sawah merupakan pekerjaan sampingan bapak
sebagai penghasilan tambahan. Bapak adalah seorang pengajar di salah satu
sekolah dasar di desa kami.
Sebelum ditanami tebu, sawah ini pernah ditanami tanaman
kacang panjang. Aku ingat dahulu aku suka sekali menemani bapak ke sawah dari
siang sampai menjelang petang. Sesekali aku membantu beliau menggarap sawahnya
baik menaburi pupuk maupun mencabuti tanaman-tanaman liar di sekelilingnya.
Jika ada waktu senggang di malam hari, tak jarang juga
bapak mengajakku berkeliling desa dengan sepeda motornya. Dengan memakai sarung
dan kaos yang seadanya, bapak mengendarai sepeda motornya dengan pelan,
melewati jalanan yang remang-remang dengan lampu seadanya. Bapak menyapa
siapapun orang yang dikenalnya sambil sesekali menyanyi lagu dangdut
kesukaannya. Terkadang bapak bercerita kepadaku tentang tokoh-tokoh wayang yang
ada di cerita jawa. Meskipun bapak tidak suka bercerita, tetapi jika sudah
menyangkut tentang pewayangan, bapak akan mengeluarkan semua pengetahuannya
mengenai itu. Bapak suka dengan wayang. Ketika khitanan adikku yang pertama,
bapak rela mengeluarkan banyak uang demi mengundang dalang untuk pertunjukkan wayang.
Bapak juga pernah membeli beberapa tokoh-tokoh wayang seperti Werkudoro dan
Semar untuk dipajang di rumahnya. Aku yang di belakangnya hanya bisa terdiam sambil
mendengarnya. Bapak hafal tokoh-tokoh wayang dan kisah-kisahnya. Aku heran
sekaligus kagum. Aku pernah mencoba untuk mempelajari kisah-kisah dan menghafal
satu persatu tokoh-tokoh dalam pewayangan. Namun ingatanku tidak setajam bapak.
Baru beberapa hari menghafal, aku cepat lupa. Entahlah, mungkin memang aku
tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Jika ada tugas pelajaran bahasa jawa
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pewayangan, aku selalu bersemangat
memanggil bapak untuk mengajariku. Dengan sabar bapak menjelaskan jawaban dari
soal-soal itu. Tak jarang juga saat mengerjakan soal-soal itu, bapak bercerita
dengan memperagakan adegan-adegan dalam kisah pewayangan seolah-olah bertindak
sebagai dalang. Aku selalu memerhatikannya sambil sesekali tertawa.
Perjalanan kami sampai di jalanan yang gelap. Bapak suka
melintasi jalan gelap yang dikelilingi oleh sawah-sawah.
“Kamu takut gelap,
Dila?” tanya bapak di tengah perjalanan yang sangat sunyi, hanya suara jangkrik
dan cahaya motor yang menemani. Tampak dari jauh cahaya-cahaya gemerlap
lampu-lampu pemukiman penduduk. Hanya itu.
“Tidak, Pak, ” Jawabku singkat sambil sesekali menengok
ke belakang barangkali ada sesuatu yang mengikuti. “Dila hanya takut suasana
yang sepi, tak ada suara, hening.” Lanjutku.
Bapak masih mengendarai sepeda motornya, kali ini bapak
menambah kecepatannya.
“Kamu tahu kenapa bapak sering mengajakmu melewati
jalanan yang gelap? Supaya kamu menjadi orang yang pemberani, tidak menjadi
penakut dan pecundang. Kebanyakan orang berasumsi bahwa gelap itu menakutkan.
Padahal justru di dalam gelap, kamu akan melihat cahaya yang menakjubkan. Kau
lihat itu, Dila? Cahaya lampu dari rumah-rumah warga, di sana ada jalanan untuk
dilewati para pengguna kendaraan. Ada kendaraan yang melintas di sana, kau
lihat sorot lampu kendaraan itu?”
Aku mengangguk. Namun masih terdiam.
“Jangan takut gelap, Dila. Bapak tidak mengajarimu untuk
menjadi penakut. Jangan takut dengan apapun, kecuali dengan Yang Maha
Segalanya. Kau paham maksudku, Dila?”
“Iya, Bapak.”
“Keberanian itu yang suatu saat akan membawamu pada
keberanian-keberanian yang lain. Suatu saat kau akan mengerti, Dila.”
Bapak terus melaju. Perjalanan kami sudah sampai pada
sebuah pos kampling desa lain. Di sana ada beberapa orang yang sedang menonton
televisi bersama. Kebanyakan dari mereka mengenal bapak, begitu pun sebaliknya.
Bapak sempat mengobrol dengan mereka beberapa menit. Aku hanya bisa menyimak
dan mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Tak lama kemudian bapak
menyalakan sepeda motornya, lalu kami pulang. Sebab adzan isya sudah lewat satu
jam yang lalu, artinya hari mulai malam dan aku harus mulai belajar.
Aku bukan anak yang pendiam. Di sekolah, aku termasuk
anak yang cerewet. Setiap pulang sekolah, aku selalu bermain bersama
teman-temanku sampai lupa waktu. Ibu selalu menasihatiku supaya aku tidak
bermain sampai sore hari. Namun sepertinya aku mengabaikan nasihat itu. Pernah
suatu hari sepulang sekolah, aku bermain sampai sore hari. Aku melupakan
kewajibanku sebagai seorang muslim. Bermain merupakan kegiatan yang
menyenangkan untuk anak usia sekolah dasar. Sungguh menyenangkan. Waktu itu aku
tidak berani pulang ke rumah. Aku bersembunyi di rumah salah satu tetanggaku.
Aku biasa memanggilnya Mak Kum. Mak Kum bercerita padaku bahwa tadi siang bapak
mencariku dan sekarang beliau masih mencariku dengan sepeda motornya. Aku takut
setengah mati. Aku sudah bisa menduga bapak sedang marah besar. Dan jika sudah
seperti ini, beliau akan memarahiku di depan banyak orang. Aku segera beranjak
dari tempat itu, mengambil sepeda kemudian segera pulang ke rumah. Namun
beberapa langkah sebelum mengambil sepeda, bapak melintas di jalanan depan
rumah Mak Kum. Beliau melihatku dengan wajah geram. Aku terdiam. Beberapa detik
kemudian bapak sudah ada di hadapanku.
“PULANG!!!” teriaknya di depanku.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil sepeda kemudian
segera mengayuhnya menuju rumah. Aku tidak sempat berpamitan dengan Mak Kum.
Namun beliau tahu betul aku sedang katakutan dan memakluminya. Sesampai di
rumah, bapak memarahiku habis-habisan.
Bapak tidak sembarang memarahiku. Ada alasan yang membuat
beliau marah. Pertama, aku bermain tanpa memerhatikan waktu sehingga kewajiban
sebagai seorang muslim pun aku tidak melakukannya. Kedua, aku tidak membantu
pekerjaan rumah Ibu, Meskipun aku masih sekolah dasar, tetapi aku sudah
diajarkan untuk membantu pekerjaan rumah tangga ibu. Ketiga, aku sudah kelas
enam sekolah dasar. Artinya, aku harus mengurangi intensitas bermain supaya
lebih fokus untuk belajar dalam mengahadapi ujian kelululusan. Pengalaman
berharga dari seorang bapak.
Aku membuka mataku. Di luar tampak hujan sudah mulai
reda, menyisakan tetesan-tetesan dan embun di kaca jendela kereta. Aku masih
memandang keluar, gelap. Hanya cahaya-cahaya lampu yang sesekali terlihat. Aku
tersenyum. Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul enam
sore. Masih menyisakan tiga jam perjalanan untuk sampai ke kampung halaman.
Perjalanan yang panjang.
Malam sebelum keesokan hari akan menghadapi ujian
kelulusan sekolah dasar, Bapak mengajariku pelajaran matematika. Bapak jago
sekali dengan pelajaran yang satu ini. Aku selalu terkagum-kagum ketika bapak
menghitung suatu perhitungan—yang menurutku rumit tanpa menghitung terlebih
dahulu di kertas seperti yang aku lakukan. Hanya dengan bayangan, hanya dengan
logika. Aku ingat waktu itu ada satu soal yang membuat Bapak jengkel karena aku
tidak bisa mengerjakannya. Bapak sudah berkali-kali menjelaskan, tetapi aku
tidak kunjung paham.
“Ujiannya besok, Dila. Kau mau dapat apa kalau seperti
ini saja tidak bisa?” Ucapnya dengan suara yang agak keras.
Aku menahan sesak. Bapak memang keras. Namun dibalik
kekerasannya itu, ada maksud lain yang sangat baik. Aku tahu itu.
“Kerjakan lagi sampai kau mengerti!”
Dengan sigap aku segera mencoba mengerjakan soal itu
sebisa mungkin.
“Perjalananmu masih panjang, Dila. Jadilah manusia yang
berguna untuk bapak dan ibu kau. Selamat menempuh ujian. Ujian ini selesai,
maka ujian yang lain akan menunggumu. Jika kau lulus, kau akan bapak sekolahkan
di SMP favorit. Bapak doakan kau mendapat yang terbaik.”
Bapak melangkah meninggalkanku. Seketika dadaku semakin
sesak. Aku menunduk. Sejak saat itu pula aku berjanji untuk melakukan yang
terbaik.
Aku tersenyum lagi. Kali ini senyuman getir. Lama-lama
perjalanan ini terasa membosankan. Sepanjang itu aku hanya terdiam dan mengingat
apapun yang perlu ku ingat. Di luar hujan turun lagi, entah sudah berapa kali
hujan turun lalu reda, kemudian turun lalu reda lagi. Saat itu juga tiba-tiba
aku tertidur pulas.
Ponselku bergetar beberapa jam kemudian. Satu pesan dari
bapak menanyakan sudah hampir sampai apa belum. Ku balas pesan itu secepat
mungkin. Kereta akan berhenti di stasiun beberapa menit lagi. Bapak sudah
menungguku.
Kereta sudah berjalan lambat dan akhirnya sampai di
stasiun tujuan. Pintu sudah terbuka. Aku segera berdiri dan keluar dari gerbong
kereta.
“Akhirnya di kota kelahiran.” Gumamku lirih.
Aku berjalan cepat keluar dari stasiun. Bapak sudah
menunggu di pinggir jalan. Beliau duduk di sepeda motornya memakai jaket warna
hitam. Aku segera menghampirinya. Bapak sudah melihatku dari kejauhan. Bisa ku
lihat ada senyum yang menghiasi bibirnya.
“Bapak sudah lama di sini?” tanyaku sambil mencium
tangannya.
“Tidak terlalu lama.” Jawabnya singkat.
Aku segera naik ke sepeda motornya. Kami melaju di tengah
jalanan yang padat. Ada yang berubah dari kota ini Lebih banyak
bangunan-bangunan hotel yang sudah berdiri. Perjalanan kami untuk sampai rumah
memerlukan waktu sekitar dua puluh menit. Tiba-tiba di tengah perjalanan, hujan
lebat turun dengan cepat. Bapak yang mengendarai sepeda motor mencari tempat
berteduh. Akhirnya kami berhenti di salah satu toko pinggir jalan. Aku turun
dari sepeda motor, kemudian bapak mengambil jas hujan yang sudah disiapkan.
Kami melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit kemudian kami sampai di rumah. Aku segera
turun dari sepeda motor kemudian segera berlari masuk ke rumah. Sementara bapak
masih sibuk mengurus jas hujannya. Ibu yang sudah menungguku tersenyum melihat
kedatanganku. Aku segera memeluknya dan mencium tangannya. Tak lama kemudian
bapak masuk. Aku sudah mencium tangan bapak saat beliau menjemputku di stasiun.
Aku tidak berani memeluknya. Entah mengapa, aku malu melakukannya. Padahal
sungguh, aku ingin memeluknya seperti yang ku lakukan pada ibu. Namun bapak, aku menyayangimu. Sama seperti
aku menyayangi ibu.
“Kau sudah makan, Dila?” tanya bapak di tengah
kesibukanku mengeluarkan baju-baju dari tas.
“Belum, Pak.”
Bapak selalu memarahiku jika beliau tahu aku belum makan.
Sebab dulu aku pernah sakit gara-gara makan yang tidak teratur. Bapak selalu
mengingatkanku untuk makan tepat waktu.
“Ibu sudah menyisakan makanan untukmu. Segera makan,
Dila.”
Aku mengangguk kemudian segera berdiri menuju meja makan.
Aku kembali duduk di samping bapak sambil membawa
sepiring nasi beserta lauknya. Ibu sudah tidur di kamarnya, adik-adikku pun sudah
tertidur pulas. Kami menonton televisi bersama.
Dan, terima
kasih, Bapak. Kerinduanku sudah terobati.
28/11