- Home »
- Ternyata Sudah Satu Tahun yang Lalu
coretan busukk
On Sabtu, 26 Agustus 2017
Ternyata Sudah Satu Tahun yang Lalu
Satu tahun yang lalu di bulan yang sama,
tetapi entah tanggal berapa karena aku tidak begitu mengingatnya, tiba-tiba kau
datang menyapa. Kebingungan dan rasa tak percaya membuatku sedikit
bertanya-tanya. Malam itu tanpa terduga, pesanmu masuk via akun sosial media.
“Hai” sapamu. Ku balas pesan itu beberapa menit kemudian. Kau menanyakan
kabarku. Ku jawab baik-baik saja kemudian menanyakan hal yang sama padamu. Kita
terus bertukar pesan sampai menciptakan obrolan basa-basi. Ketika itu aku tak
begitu memikirkan perihal kedatanganmu. Sebab ku pikir itu hal yang wajar
sebagai bentuk komunikasi seorang teman. Beberapa hari kemudian ternyata
pesanmu sering datang tengah malam. Kadang aku membalasnya saat itu juga jika
memang masih terjaga, atau baru ku balas keesokan paginya karena terkadang aku
tidak tahu jika ada pesan masuk darimu. Aku masih menanggapi dengan biasa saja.
Namun suatu ketika ada sesuatu yang terus membuatku penasaran dan
bertanya-tanya. Beberapa hari setelah itu ku dapati kabar ternyata kau sudah tidak
lagi menjalin hubungan. Aku terdiam. Itukah sebabnya kau kembali menyapa?
Ketika itu aku tidak mau berburuk sangka. Ku tanggapi kedatanganmu dengan
senyuman. Aku sudah cukup meyakinkan hati bahwasanya pikiranku bukan lagi
tentangmu. Oleh sebab itu, aku menganggap kedatanganmu adalah bentuk menjaga
komunikasi kita sebagai seorang teman. Ku akui waktu itu aku sedang
menerka-nerka perasaan. Aku sedang menyukai temanku sendiri. Orang itu sering
mengajakku keluar untuk sekadar makan atau memintaku untuk menemaninya
mengerjakan tugas. Entah aku yang berlebihan atau tidak, orang itu sering
memberikan perhatian yang kemudian selalu membuatku tersenyum kecil. Kau
datang, ketika pada saat yang sama aku mencoba membuka celah bagi orang lain.
Intensitas waktuku bersama orang itu
semakin sering, kau tahu? Saat itu aku tidak ingin menyimpulkan rasaku terlalu
jauh, aku belum begitu yakin untuk mengatakan bahwasanya aku menyukainya.
Terkadang, pesanmu masih saja datang. Menciptakan kalimat obrolan yang kemudian
ada sedikit sekali perhatian darimu. Saat itu aku seperti menjadi orang yang
munafik. Aku bingung dengan apa yang ku rasakan. Di satu sisi aku suka menikmati
waktu kebersamaan dengan orang itu, dia sering bersikap jail dengan tingkah
konyolnya kemudian aku akan pura-pura marah di hadapannya. Tetapi di sisi lain,
aku juga seperti merasa bahagia jika pesanmu datang menyapa. Ada suatu hari di
mana saat itu sudah beberapa hari pesanmu tidak datang lagi, ku akui waktu itu
aku merindukanmu. Entah karena kamu sedang sibuk dengan kegiatan perkuliahanmu
atau dengan komunitasmu, aku tidak tahu. Yang jelas, aku rindu. Sempat aku
membaca lagi pesan-pesanmu yang terdahulu. Sempat juga berpikiran untuk
giliranku menyapamu terlebih dulu, tetapi aku takut menganggumu. Jadi ku urungkan.
Aku masih mencoba fokus dengan apa yang ada di depan. Aku sempat merindukanmu,
tetapi semakin lama kerinduan itu akhirnya pudar karena tergantikan oleh waktu
bersama orang itu. Beberapa hari kemudian, akhirnya ku beranikan diri
mengirimimu pesan. Kau membalasnya, aku pun membalasnya beberapa kali kemudian
ku biarkan saja pesanmu sampai aku tidak membalasnya lagi. Mungkin saat itu kau
menunggu balasanku karena memang pesanmu sedikit agak panjang. Maafkan, aku
sedikit tidak memedulikanmu waktu itu.
Semesta berjalan, semua bergerak maju
dan waktu terus berpacu. Kebingungan atas apa yang ku rasakan akhirnya terjawab
juga. Di akhir semester ganjil mendekati liburan, hubunganku dengan orang itu
sedikit menjauh. Ku akui hal itu sedikit membuatku merasa kehilangan. Ketika itu
juga kita sudah jarang bertukar pesan. Ada suatu keanehan yang ku rasakan dari
apa yang orang itu lakukan. Beberapa hari setelah liburan tiba, orang itu
mengungkapkan perasaan. Aku memang sempat menyukainya, tetapi aku sama sekali
tidak pernah mengharapkan hubungan yang lebih dengannya. Tidak pernah! Aku
berani bersumpah tidak pernah ada pikiran semacam itu! Aku sudah menganggapnya
teman dekat. Aku tidak ingin dengan apa yang ku rasakan, justru aku
kehilangannya sebagai seorang teman. “Aku suka kamu.” Katanya. Ku jawab dengan
mengatakan hal yang sama. “Aku kagum padamu.” Kataku. Aku yakin apa yang ku
rasakan padanya hanya bentuk kekagumanku sebagai seorang teman karena dia
selalu bersikap baik. Dia hanya mengungkapkan perasaannya. Tidak ada hal lain.
Sejak itu ada sedikit kelegaan yang menghampiriku. Aku tidak sakit hati,sama
sekali tidak! Hubunganku dengannya masih berlanjut sebagai seorang teman.
Beberapa hari kemudian, pesanmu datang. Kau mengajakku bertemu di salah satu
tempat di kota ini, kota tempat tinggal kita. Kau tahu? Meskipun aku telah
mengakui pernah menyukai orang lain, tetapi saat itu aku merasakan ada debar
yang tak biasa sesaat setelah kita memutuskan untuk bertemu. Malam itu untuk
kali pertama aku melihatmu setelah berbulan-bulan kita tidak bertemu. Ada debar
yang tak biasa yang terus saja memainkan perasaan. Ah, ini hanya reaksi karena sudah lama tak berjumpa! Kataku
menenangkan diri. Kau terbuka perihal kehidupanmu. Kita saling bercerita
berbagi pengalaman selama tidak berjumpa. Gaya berceritamu masih saja sama. Aku
terus memerhatikan ke dalam dua bola matamu. Malam itu waktu kebersamaan kita
hanya sebentar. Kemudian kita pulang. Tiba di rumah, aku mengetik pesan untukmu
mengucapkan terima kasih untuk semua waktumu. Kau membalasnya, aku tersenyum.
Beberapa hari kemudian aku masih
menanggapi pertemuan pertama itu dengan biasa saja. Perasaanku kosong tak ada siapa-siapa.
Karena ternyata baru ku sadari kekaguman dan rasa sukaku pada orang itu hanya
sementara. Bukan cinta yang tepat menyentuh inti jantungku. Dia hanya singgah.
Aku baru tahu itu. Pertemuan keduaku selama liburan semester ganjil kemarin
terjadi setelah beberapa hari sejak pertemuan pertamaku denganmu. Malam itu kau
datang ke rumah temanmu, yang juga temanku. Aku membawa satu orang temanku,
yang juga temanmu. Iya sedikit rumit ya. Intinya aku dan kamu bertemu bersama
dua orang teman kita. Dua jam pertama seperti sulit menciptakan obrolan
panjang. Di sisa waktu satu jam terakhir, justru obrolan kita semakin serius
saja. Kau masih terbuka dengan kehidupanmu. Malam itu juga aku memberanikan
diri bertanya perihal penyebab putusnya hubunganmu. Tentu aku sudah biasa saja.
Jika tidak, aku tidak akan pernah berani menanyakannya. Kamu terbuka, bercerita
panjang lebar namun lagi-lagi waktu tega menghentikan. Sudah pukul sebelas
malam, aku dan temanku harus pulang. Kau berdiri dari tempat dudukmu,
mengulurkan tangan kepadaku sambil tersenyum. Ku balas uluran tanganmu dan
memintamu untuk berhati-hati di perjalanan pulangmu. Kau mengangguk.
Aku tiba di rumah pukul sebelas malam
lebih. Beberapa menit kemudian aku langsung tertidur. Keesokan paginya ternyata
ada pesan darimu yang kau kirimkan sekitar pukul satu pagi. Kau bilang masih
ingin bercerita banyak denganku. Kebetulan juga hari itu kau akan berangkat ke
kota perantauanmu. Ku balas pesanmu. Beberapa jam kemudian kau mengirimiku lagi
pesan ucapan pamit karena akan berangkat ke kota orang. Tanpa ku sadari aku
tersenyum sendiri. Hati-hati di jalan,
beri kabar kalau sudah sampai tujuan. Aku mengirim pesan itu dengan
perasaan yang tak karuan.
Setelah itu, ku rasa kita sering
bertukar kabar. Aku tidak ingin terburu-buru menyimpulkan perasaan. Aku takut
jatuh hati lagi padamu. Dan ku rasa sekarang aku benar-benar jatuh. Aku tahu
satu hal. Bahwa sekeras apapun aku mencoba melupakan rasa dan berusaha
menggantikanmu, perasaanku pasti kembali lagi padamu. Maaf, aku tidak mengerti.
Aku percaya ada alasan terbaik yang diberikan Tuhan kenapa sampai sekarang aku
padamu masih saja sama.
Surakarta, 26
Agustus 2017.