Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Sabtu, 02 Desember 2017

Lelaki Tua
Sudah beberapa hari ini aku melihat seorang lelaki tua dengan bajunya yang kumal duduk sendirian di depan sebuah ruko di perempatan  jalan. Aku selalu menjumpainya di malam hari setiap jam sembilan malam. Lelaki itu selalu membawa barang-barang yang dibungkus plastik hitam besar. Plastik itu selalu memenuhi sepeda tuanya yang ia parkirkan tepat di sampingnya. Barang-barang itu mungkin saja dagangannya yang belum juga terjual. Rumahku yang tidak jauh dari perempatan jalan selalu merasa iba, tetapi tetap saja tak lantas membuatku mendekatinya—hanya memerhatikannya dari kejauhan dan mengikuti gerak-gerik lelaki itu.
Malam berikutnya kembali aku melihat lelaki tua itu duduk sendiri di depan ruko. Sesekali ia menundukkan wajahnya yang sedikit dihampiri rasa kantuk dan sesekali pula ia memainkan barang-barang yang ada di hadapannya. Lelaki itu ternyata seorang penjual mainan keliling. Dari kejauhan sesekali ku lihat lelaki itu dihampiri oleh beberapa orang. Entah hanya untuk sekadar memberinya sebungkus makanan atau benar-benar membeli mainan yang ia jualkan. Sebenarnya aku sendiri berkeinginan untuk dapat mendekatinya. Barangkali ada sebuah cerita yang tak terduga yang bisa ku dengar langsung dari sosoknya, atau mungkin aku bisa menjadi teman mengobrolnya disaat kebosanannya menunggu pembeli datang. Atau mungkin juga, dia benar-benar sedang butuh seseorang. Atau mungkin? Berbagai pertanyaan terus saja mengisi penuh pikiranku. Mengapa lelaki itu selalu berada di sana sampai larut malam? Di mana istri dan anaknya? Di mana juga tempat tinggalnya?
Malam selanjutnya hujan membungkus kota. Seperti biasa di depan ruko itu sosok lelaki dengan rambutnya yang sudah memutih duduk dengan ditemani sepeda tuanya. Dia berlindung dari derasnya tetesan hujan di bawah atap yang ada di depan ruko itu. Bajunya yang kumal tipis seperti tidak bisa melindunginya dari angin malam yang memilukan tulang. Ku lihat ekpresi mukanya seperti sedang kelaparan. Aku mengumpat pada diri sendiri. Ah sialan! Ya Tuhan, kasian sekali. Kenapa aku seperti menjadi orang yang tidak peduli?
Dua hari kemudian aku tak melihat lelaki itu seperti biasanya. Rasa penasaran tiba-tiba muncul mengingat terakhir kali aku melihatnya ketika ia sedang duduk sendirian ketika hujan datang. Pikiran-pikiran aneh sempat terlintas. Sempat juga berharap ia datang tiba-tiba karena malam ini aku berniat untuk mendekatinya. Sampai tengah malam datang, orang yang ku tunggu tak juga tiba.
Akhirnya, malam berikutnya aku melihatnya kembali sedang duduk di depan ruko itu. Kali ini barang yang ia bawa hanya sedikit. Bisa ku hitung hanya ada tiga plastik hitam, tidak seperti biasanya yang membawa dua kali lipatnya. Kali ini juga aku tidak melihat sepeda tuanya yang selalu ia parkirkan di samping tempatnya duduk. Malam itu juga aku mendekatinya.
“Maaf, pak boleh saya duduk di sini?” tanyaku pada lelaki yang berbaju kumal itu ketika ia akan menata barang dagangannya.
“Silakan.” Jawabnya singkat.
“Terima kasih, pak.” Kataku berusaha sesopan mungkin sambil duduk di sebelahnya. Ku lirik lelaki itu diam termangu sambil mempermainkan salah satu mainan yang ia jual. Nampaknya masih menunggu obrolan panjang tercipta.
“Bapak sudah lama di sini?” tanyaku sekadar basa-basi memecah keheningan untuk sedikit mencairkan suasana. Ia menoleh dan menatapku sambil tersenyum sebentar. Di tengah lalu lalang kendaraan karena dekat dengan perempatan jalan dan hanya ditemani oleh cahaya lampu jalanan, nampak jelas sorot mata yang menyimpan banyak sekali kecemasan.
“Bapak dengar suara saya?” tanyaku sekali lagi karena suara bising kendaraan itu sedikit menganggu percakapanku dengannya.
“Dengar, mbak. Saya tiap malam di sini.” Jawabnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Aku terdiam sejenak, kemudian melihat plastik yang ku bawa dari rumah berisi minuman dan sebungkus makanan yang sengaja aku bawa untuknya. Aku sedang berpikir kalimat apa yang harus ku utarakan untuk memberikan plastik itu agar lelaki itu tidak tersinggung dengan apa yang ku berikan.
“Pak, saya beli makanan buat teman. Tapi ternyata dia tidak di rumah. Jadi ini buat bapak saja ya.”
Lelaki itu menoleh ke arahku sekali lagi dengan tatapan tajam. Tangannya kemudian meraih plastik yang ku ulurkan ke arahnya seraya mengucapkan terima kasih padaku. Malam itu ku rasa belum ada orang yang menghampirinya selain aku. Jadi dagangannya belum ada yang laku.
“Sepeda bapak di mana ya? Yang saya tahu bapak punya sepeda yang sudah tua yang selalu bapak parkirkan di sini.” Tanyaku sekali lagi sambil menunjuk tempat yang selalu menjadi parkir sepedanya.
“Sepeda tua saja sudah dijual, mbak kemarin. Istri saya sakit dan tidak ada biaya pengobatan,” Katanya dengan suara yang berat.
“Rumah saya di ujung kota sana. Semenjak sepeda itu dijual, setiap pagi saya kalau jualan dari satu tempat ke tempat lainnya selalu naik bus.” Lanjutnya.
“Tiap malam saya selalu melihat bapak duduk di sini.”
“Iya mbak, saya tidak mau pulang sebelum beberapa mainan ini terjual.”
Nada suaranya semakin berat. Bisa ku lihat seperti ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan. Bapak itu menjual dagangannya dengan berkeliling di sekolah-sekolah kota ini.
Bapak itu dulu seorang pegawai negeri. Sebab sesuatu hal, ia melepaskan pekerjaannya. Ternyata setelah itu, kesulitan hidup kerap menghampirinya. Ia hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dua anaknya yang sudah berkeluarga entah di mana tak pernah mengunjunginya. Malam itu waktu mendadak lenyap tak terduga. Obrolan panjangku dengan lelaki itu sudah cukup membuat rasa penasaranku hilang. Malam itu juga aku sudah meyakinkannya untuk bisa menjadi temannya ketika ia sedang sendirian menunggu pembeli datang. Malam itu juga aku membeli beberapa mainan yang ia jual meskipun aku tidak membutuhkannya. Malam itu juga, ada pelajaran yang berharga!


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments