- Home »
- Sajak Tentangnya
coretan busukk
On Senin, 11 Juli 2016
Sajak
Tentangnya
Izinkan
aku Ya Rabb, berjumpa lagi dengannya dengan penuh kedewasaan.
Masih
dengan tulisan yang sama, sajak-sajak tentangnya.
Surakarta, tahun pertama.
Barangkali
ini merupakan awal baru untuk mengubah jalan hidup, melangkah ke depan dengan
sekeras mungkin mencoba melupakan masa lalu perihal kisah percintaan anak muda
yang menyakitkan. Sebenarnya masih terlalu dini mengenal soal cinta, di mana
waktu itu usiaku masih memakai seragam sekolah. Namun lingkungan yang
mendorongku ke sana. Aku mengenalnya sedari kecil. Dahulu anak kecil suka
kelewatan batas jika bercanda, menjodoh-jodohkan dengan teman lawan jenis tanpa
ada latarbelakang yang jelas. Mungkin dari sanalah kisahku berawal. Waktu itu
aku masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Terus berlanjut hingga
sampai aku di kelas enam, masih dengan orang yang sama. Dan saat itu aku
menyadari bahwa, aku menyukainya. Meskipun aku belum tahu apa makna suka yang
sebenarnya. Perasaanku tak berubah sampai aku melanjutkan jenjang sekolah yang
lebih tinggi. Ada satu massa di mana aku pernah begitu membencinya dan rasanya
tak ingin lagi mengenalnya. Tak perlu ku jelaskan. Sebab waktu itu aku
menghabiskan waktuku hampir dua tahun tak menganggapnya sebagai seseorang yang
ku kenal. Waktu terus berjalan maju dan akhirnya aku terpisah darinya. Kami
sama-sama melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya, tetapi berbeda tujuan.
Namun justru dari perpisahan itulah, entah mengapa aku dapat berkomunikasi
kembali dengannya, berhubungan baik selama beberapa waktu. Dan tanpa ku sadari,
aku menaruh harapan padanya. Menunggunya lagi selama hampir dua tahun. Berharap
dia mengatakan sesuatu yang pasti akan membuatku bahagia setengah mati. Dan
ternyata hari itu tiba juga. Namun ternyata, hubungan kami tidak berjalan baik
juga. Aku retak oleh sedikit keberuntungan yang ku terima, bersamanya dalam
kesebentaran . Saat itu aku sudah lulus dari sekolah menengah atas. Aku mencari
perguruan tinggi ke luar kota, dan dia juga sebaliknya.
Pertemuan
pertama kami terjadi tujuh bulan setelah kami berpisah. Malam itu aku teringat
betul hujan baru saja turun. Aku menunggunya di salah satu tempat kebanggan di
kota kami. Dia datang. Senyum yang tak lama ku lihat, berbeda. Tak ku temukan
keteduhan matanya dan kasih sayang yang selalu ada setiap aku dan dia bersua.
Tak ada pula rasa hangat yang diam-diam menyusup masuk ketika mataku dan
matanya saling berjumpa. Aku tahu bahwa saat itu dia masih dekat dengan perempuan
lain. Ku akui bahwa, akulah yang mengajaknya untuk menemuiku. Sebab aku merasa
masih ada sesuatu yang mengganjal yang belum terselesaikan. Perpisahanku
dengannya jauh dari kata dewasa. Dia belum pernah mengungkapkan segala yang ada
dalam hatinya selama kami bersama. Maka malam itu, aku ingin semuanya selesai
agar masing-masing dari kami melangkah dengan pasti.Namun ternyata semuanya
tidak sesuai harapan. Dia bungkam, tak mengutarakan apapun. Beberapa minggu
setelah pertemuan itu, dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan lain. Aku
mencoba melangkah, berharap dengan semakin jauh melangkah, semakin jauh pula
meninggalkan kesedihan di belakang sana. Aku merantau ke kota orang, menunaikan
kewajiban menuntut pendidikan setinggi-tingginya. Melupakan segala kesedihan,
menemukan orang-orang baru, dan apapun ku coba asal tidak lagi menyangkut soal
dirinya.
Dua
semester ku lalui dengan berada di antara orang-orang yang memiliki karakter
berbeda-beda. Seringkali di antara mereka, ada perilaku yang membuatku tak
berkenan. Tak masalah, setiap orang punya dunianya masing-masing. Adaptasi yang
cukup panjang. Ku katakan usahaku untuk melupakan kisah percintaanku dahulu
cukup berhasil. Barangkali di sana, mungkin ada seseorang baru yang ku kagumi.
Pikiran konyol! Semesta bergerak dan semua berjalan maju. Begitu kataku jika
pikiranku mencoba mengingat-ingat kejadian masa lalu. Tak jarang pula, aku
bertanya-tanya soal kabarnya.
Tahun
pertama di Surakarta, ku dengar kabar bahwa hubungannya dengan kekasihnya sudah
berjalan satu tahun. Tak masalah. Aku senang mendengarnya, karena itu berarti
dia sudah semakin mengerti soal menjaga hubungan. Namun dari sinilah, aku
kembali lagi merasakan luka yang sudah lama ku tutupi.
Pertemuan
kedua ku dengannya terjadi saat liburan tengah semester ke dua. Ini merupakan
kali pertama aku bertemu dengannya setelah hampir beberapa bulan tak melihat
batang hidungnya. Semua berjalan baik dan tak ada sedikit pun kecanggunggan
yang kami ciptakan. Aku dengannya berbincang seperti kebanyakan dengan teman
yang lain. Pertemuan ketiga dan keempat terjadi pada liburan panjang semester
dua ini. Entah mengapa rasanya ada sesuatu yang berbeda. Ada kecanggunggan yang
ku ciptakan sendiri. Tiba-tiba kebingungan untuk memulai percakapan itu muncul
ketika dia menampakkan wajahnya di hadapanku. Entah mengapa, aku tak tahu apa
yang harus ku lakukan saat ada di hadapannya. Dan yang semakin membuatku
semakin terkutuk, ingatanku tiba-tiba berputar menaiki mesin waktu jauh ke masa
lalu. Ketika tanpa berperasaan, dia memutuskan melangkah menjauh dariku. Dan
saat ini orang itu ada di hadapanku. Sebenarnya aku juga tak mengerti, apa
hubunganku dengannya? Aku ingin berteman dengannya, saling terbuka dan bercanda
seperti dengan kebanyakan teman pada umumnya. Mungkin memang, segala sesuatu
membutuhkan proses yang panjang. Sungguh perasaan ini menyiksaku. Aku ingin dia
mengetahui bahwa, aku tak ingin menjadi seseorang yang menganggu hidupnya,
menjadi penghalangnya atau apapun yang memberikan hal yang kurang baik untuknya.
Namun aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Mungkin, biarkan semua
mengalir sebagaimana mestinya. Sebab cinta memang semesta yang rumit. Sama
seperti perasaanku yang rumit, kerumitan yang ku ciptakan sendiri.
Sekali
lagi, aku tak ingin menganggu hidupnya.
Dan
untuk saat ini ...
Aku
pun mesti pergi. Menyelinap di sela hujan. Menjelama tanah basah. Dan
mengering
pelan-pelan. -Gunawan Maryanto-
Pekalongan, 10 Juli
2016