- Home »
- Menunggu Pesan Singkat
coretan busukk
On Rabu, 01 April 2015
Menunggu Pesan Singkat
April,2014
Suasana
yang sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Aku tidak berharap banyak tentang
kehadirannya. Aku juga tidak heran dia bukan menjadi orang yang pertama kali
mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Sebab semuanya sudah berbeda, tidak
seperti setahun yang lalu. Dia sudah pergi. Meninggalkan setumpuk kenangan dan
ketidakpastian. Ucapan tulusnya menjadi hal yang mustahil saat ini. Tetapi
tetap saja, aku menunggunya. Aku menunggu ucapan darinya. Tak peduli berapa lama,
selagi waktu belum menunjukkan pukul 00.01 yang berarti telah berganti hari. Ku
buka catatan kejadian di ponselku. Tertanggal April 2013. Ucapan darinya
yang panjang lebar. Pesan ucapannya pukul 00.47 setahun yang lalu. Memoriku
berputar pada kejadian itu.
Minggu
malam, April 2013
Kejutan
tak terduga. Malam yang indah dengan gugusan bintangnya. Meskipun angin malam
begitu dingin, justru hal ini membawa kesejukan tersendiri untukku. Dia datang,
mengulurkan tangan dan tersenyum manis. Ku tatap matanya yang teduh. Ku lihat
ketulusan di sana. Ketulusan yang entah mengandung makna apa. Ku balas senyum
itu.
“Hai,
selamat ulang tahun ya!” ucapnya.
“Halo,terima
kasih ya.”
Konyol
bukan? Hatiku jadi tak menentu setelah menatapnya. Aku ingat kembali,
sebelumnya dia sudah mengirim ucapan lewat sebuah pesan jejaring sosial pukul
00.47 WIB. Dan malam ini, dia di sini. Orang ini ada di sampingku. Lalu kenapa
dia rela membuka akun jejaring sosialnya tengah malam untuk memberi sebuah
ucapan itu? Dan kenapa dia rela memberi kejutan ini kalau tidak ada sebuah
makna yang tersembunyi? Maka sejak itu aku menaruh harapan padanya. Sejak itu
aku menunggunya. Aku menyukainya.
Satu
tahun yang berlalu dengan cepat. Satu tahun yang begitu dekat antara aku
dengannya. Tetapi satu tahun juga terasa lama untuk menunggunya. Orang itu
datang dan pergi. Aku lelah. Ingin sekali berhenti, namun hati meminta untuk
kembali—kembali menunggunya. Maka setelah semuanya terasa begitu melelahkan,
aku berhenti berharap. Diapun berhenti memberikan kabar. Menghilang begitu saja
tanpa jejak. Maka hari ini pula, aku tidak heran jika ucapannya tidak datang.
Ku
tatap layar ponselku sekali lagi. Apa yang sesungguhnya aku lakukan? Itu
berarti aku sedang menunggu pesannya bukan? Bodoh. Aku menghela napas. Ku
lempar ponsel itu ke atas kasur. Aku mondar-mandir kebingungan. Tidak tahu
harus mencari kesibukan apa. Di dalam kamar terasa membosankan. Ku ambil
kembali ponsel itu. Ku lihat jam yang tertulis di sana. Pukul 13.45 WIB. Aku
mendekat ke jendela. Hari sudah mulai sore. Ku tatap langit biru yang menawan
itu. Terik matahari begitu menyengat. Hari yang cerah, hari yang indah, hari
kelahiranku. Usia yang sudah genap tujuh belas tahun. Usia yang menurut
sebagian besar orang sudah dewasa. Iya, aku sudah besar. Seharusnya aku tahu
mana yang seharusnya aku lakukan dan tidak perlu ku lakukan. Aku tidak perlu
terus-menerus menunggunya. Tetapi tetap saja terasa berbeda. Usia tujuh belas
tahun yang katanya manis, tidak semanis yang ku kira.
Ponselku
tiba-tiba bergetar. Seperti ada sebuah magnet yang menguras seluruh tenagaku.
Aku lemas. Pesan dari orang yang ku tunggu. Ku pandang langit biru itu sekali
lagi. Ku pejamkan mataku. Aku tersenyum. Ku buka mata dan ku lihat ponselku.
Tidak salah, namanya terpampang jelas di sana. Ya Tuhan, orang yang ku tunggu
datang. Sudah lama sekali kabarnya tak pernah ada. Seperti daun layu yang
kembali segar karena disiram oleh sang pemiliknya, tetapi kemudian kembali
kering karena ditinggal dan tak terurus. Senyumku seketika pudar. Sudah lama ku
tunggu tapi ucapannya sesingkat itu. Berbeda, sungguh beda. Dia berubah,
seharusnya aku sadar. Harapan itu terkubur, lenyap seperti daun kering itu. Tetapi
dia sudah menyempatkan waktu untuk menulis ucapan itu. Bukankah masih ada
sedikit kepedulian? Dia masih ingat. Senyumku kembali mengembang.
Ku
balas pesan itu. Diam. Satu menit, dua menit, tiga menit dan seterusnya tak ada
balasan. Ponselku tak bergetar. Dia menghilang lagi. Aku menunggu balasannya.
Sekadar kata iya-pun tak masalah. Meskipun aku menyadari mungkin pesanku tak
membutuhkan balasan. Tetapi aku ingin berkomunikasi dengannya. Harapan hanya
tinggal harapan. Aku bosan. Ya Tuhan, aku rindu satu tahun yang lalu. Aku rindu
enam belas tahun. Aku rindu segala yang berhubungan tentangnya. Dia masih di
sini Tuhan, selalu di sini—hati.
R.
Andriani, 14 Juli 2014