- Home »
- Tentang Kamu (2)
coretan busukk
On Kamis, 16 Februari 2017
Sumber : Tumblr
"Aku yang mengenalmu dari lama, tetapi kenapa setiap kali menjalin hubungan kisah kita hanya sebentar."
Aku sudah memasuki bangku sekolah
menengah atas. Aku dengannya sudah jarang bertemu, tetapi masih saja saling
bertukar pesan. Komunikasi itu berlangsung hampir satu tahun. Kemudian aku naik
ke kelas sebelas, usiaku saat itu menginjak enam belas tahun. Mungkin karena
kesibukan masing-masing, aku dengannya sudah jarang bertukar pesan. Dia datang
dan pergi seenaknya. Dan sialnya aku sudah terlanjur jatuh hati lagi padanya.
Dia menghilang, kemudian datang membawa pesan untuk mengajakku jalan. Entah
menonton film atau hanya makan. Setelah itu, dia menghilang lagi. Begitu
seterusnya. Aku sudah memendam perasaan hampir dua tahun sejak komunikasiku
dengannya kembali ada. Dengan segala yang sudah dia lakukan padaku, aku
bersikeras untuk tak lagi peduli dengannya, melupakan segala perasaan yang
sudah terlalu lama ku pendam. Aku ingin menjauh darinya. Aku terus menyibukkan
diri dengan kegiatan-kegiatan sekolah. Sampai ujian kenaikan kelas tiba, aku
sudah jarang lagi berkomunikasi dengannya.
Usiaku mendekati tujuh belas tahun, aku
naik ke kelas dua belas sekolah menengah atas. Liburan semester menuju kelas
dua belas itu, dia datang lagi mengirimiku pesan singkat. Kami berkomunikasi
lagi selama beberapa hari. Kemudian pada suatu malam dia mengajakku pergi ke
salah satu acara yang saat itu sedang berlangsung di kota kami. Di sana, di
tengah keramaian orang-orang yang berkunjung, dia mengungkapkan lagi
perasaannya padaku.
“Aku suka sama kamu, Ra. Sudah ku
yakinkan diri bahwasanya aku tak mungkin menyukaimu lagi. Tetapi aku tak bisa
membohongi perasaanku sendiri. Setiap kali aku mencoba untuk melupakanmu, saat
itu juga pasti hatiku kembali lagi padamu. Maukah kau bersamaku lagi, Ra?”
Ku tatap matanya dan kami saling
terdiam. Sebenarnya ini yang sudah ku nantikan. Tetapi melihat bagaimana dia
selama ini yang datang dan pergi sesukanya, membuatku sedikit meragukan
perasaannya. Aku bahagia dia sudah berani mengutarakan rasa, tetapi juga aku
sedikit meragukannya.
“Tapi kau dan aku berbeda sekolah, sudah
sulit untuk bertemu.”
“Tidak apa-apa, kita jalani saja dulu.”
Begitu katanya.
Akhirnya aku menerima lagi apa yang dia
minta. Tidak ada komitmen apapun dalam hubungan kami. Aku bertemu dengannya
satu minggu sekali. Agak rumit memang. Kami masih saja menjadi dua orang yang
belum bisa membuka diri. Saling malu dan berjalan seadanya. Kali ini hubunganku
dengannya lagi-lagi tak berjalan lama, hanya sekitar empat bulan. Dia
memutuskanku dengan masalah yang sebenarnya masih bisa diselesaikan baik-baik.
Dia memutuskanku melalui pesan singkat tanpa mengajakku bertemu secara langsung
untuk menjelaskan semuanya. Kisah kami berakhir secepat itu, tetapi aku merasa
masih ada yang belum terselesaikan. Kami berpisah tanpa mengutarakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku memendam perasaan lagi, dan aku membencinya lagi.
Selama itu ku lihat dia melalui akun sosialnya sedang mendekati perempuan-perempuan yang entah berdatangan dari mana. Dia terus mencari-cari, sementara aku masih
saja diam di sini memerhatikannya. Aku merasa masih ada yang perlu ku jelaskan
padanya meskipun aku sudah tidak lagi menjadi kekasihnya. Dia terus
berkomunikasi dengan teman-teman perempuannya di akun sosialnya selama beberapa
bulan sampai ujian kelulusan tiba. Selama itu pula aku bertahan memendam kecemburuan
dan sakit hati yang luar biasa.
Usiaku sudah tujuh belas tahun lebih
beberapa minggu. Ujian kelulusan sudah ku lewati. Aku mendaftar perguruan
tinggi negeri di luar kota. Sore itu pengumumannya dan aku diterima di
perguruan tinggi yang sudah ku daftar. Ada keinginan di dalam hatiku untuk
mengajaknya bertemu. Aku ingin menjelaskan semua perasaanku padanya yang selama
ini belum bisa ku ungkapkan. Aku ingin menjelaskan masalah yang menjadi
penyebab putusnya hubungan kami. Aku ingin meminta kejelasan semuanya, sebab
selama beberapa bulan ini aku masih merasakan kejanggalan. Ada yang harus ku
utarakan, ada yang harus ku selesaikan. Maka malam itu, yang kebetulan hujan
baru saja mengguyur kota kami. Ku beranikan diri mengiriminya pesan singkat.
Aku mengajaknya bertemu di salah satu tempat di kota kami. Awalnya dia menolak
dengan alasan hujan baru saja turun. Ku katakan padanya bahwa aku ingin bertemu
dengannya sebentar saja. Barangkali setelah ini, aku akan sulit lagi bertemu
dengannya karena masing-masing dari kita akan melanjutkan sekolah di luar kota.
Akhirnya dia menerima permintaanku.
Aku sudah keluar dari rumah dua jam yang
lalu. Masih gerimis waktu itu, aku menunggunya di sebuah mini market tak jauh
dari tempat di mana aku dan dia akan bertemu. Aku ditemani salah seorang teman
dekatku. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Gerimis sudah
mulai reda. Dia belum juga mengirimkan kabar untuk sekadar menanyakan aku sudah
ada di tempat atau belum. Sepuluh menit kemudian akhirnya aku yang mengiriminya
pesan bahwa aku sudah menunggunya di tempat. Dia datang lima belas menit kemudian.
Masih sama, tak berubah. Ada debar luar biasa yang ku rasakan. Dia diantar
salah satu temannya yang juga temanku. Menunggu di sudut tempat itu yang agak
jauh dari tempatku dan dia berdiri. Sementara temanku menungguku di mini market
tadi. Aku menyapanya dengan senyuman yang ku paksa. Aku tahu orang ini sudah
berusaha melupakan perasaannya padaku. Aku tahu juga bahwa saat ini dia sudah
dekat dengan perempuan lain. Aku mengetahuinya dari akun sosialnya yang selalu
berkirim pesan kepada perempuan itu. Tetapi tak apa, toh aku hanya ingin
meluruskan semuanya sebelum akhirnya kita memilih jalan masing-masing. Setelah
ini, terserah saja dia mau bagaimana, aku sudah tak peduli.
Malam itu ku buka percakapan dengan menanyakan kabarnya dan
kesibukan apa yang sekarang dia jalani. Aku tahu dia sudah diterima di
perguruan tinggi swasta di luar kota sesuai dengan apa yang ia inginkan. Aku
turut bahagia mendengar kabar itu. Malam itu tanpa basa basi aku menyuruhnya
untuk menjauh dari keramaian kendaraan yang melintas tak jauh dari tempat kami
berdiri. Malam itu tanpa rasa malu ku ungkapkan segalanya padanya, sesekali aku
menatap wajahnya yang hanya kaku terdiam tak bisa bersuara. Malam itu
ku rasakan lagi luka di tempat yang sama, sementara ku yakin dia juga merasakan
hal yang sama namun tak pernah berani mengakuinya. Mendadak hatiku tak mampu
lagi untuk merasa. Tak ku temukan lagi keteduhan dan kasih sayang yang selalu
ada di setiap kali aku dengannya bersua. Tak ada pula rasa hangat yang
diam-diam menyusup masuk ketika mataku dan matanya saling berjumpa. Ku katakan yang selama ini terpendam dalam hati
dan pikiran dengan semampunya, menahan debar jantung yang berkejaran dan
mengatur napas sedemikian rupa agar tak ada tangis yang pecah di udara. Aku
menjelaskan semuanya, sementara dia terus saja bungkam tak bersuara. Aku diam
beberapa menit barangkali ada sesuatu yang akan dia katakan. Namun tetap saja,
bungkam. Malam itu rinduku berbuah lara. Setelah tahu dia tak mengatakan
apapun, akhirnya aku mengundurkan diri dari hadapannya. Dia tak mengucapkan
maaf sedikit pun meskipun sebelum aku melangkah pergi darinya, sudah ku ucapkan
maaf berulang kali dan terima kasih yang tak terhingga, sebab luka yang dia
berikan suatu saat pasti akan berguna.
Aku melangkah pergi darinya. Ketika aku dengannya
saling berjabat tangan, tiba-tiba dia menarik tanganku, dia memelukku sebentar.
Hanya sebentar. Mungkin dua detik. Detik kemudian aku membalikkan badan dan
melangkah menjauhinya. Entah dia menungguku sampai punggungku benar-benar menghilang
dari pandangannya, atau dia juga ikut melangkah berlawanan arah denganku, aku
tak tahu. Sebab setelah itu aku bersikeras untuk benar-benar menjauh darinya,
dan aku meyakini bahwa memang semuanya sudah benar-benar selesai. Lagi-lagi aku
harus membunuh lagi perasaanku padanya.
Beberapa hari setelah kejadian malam itu, ku
dapati kabar bahwa dia sudah menjalin hubungan dengan perempuan itu. Seketika
seperti ada yang menamparku. Sakit sekali rasanya. Padahal baru kemarin rasanya
aku dan dia bertemu, kemudian sekarang dia sudah menaruh rasa kepada orang
lain. Ku dengar bahwa perempuan itu sangat jatuh hati padanya. Sebenarnya ada
sedikit rasa marah kepada perempuan itu, dia seenaknya saja menjalin hubungan
dengannya saat ada orang lain yang mencintainya. Tetapi memangnya aku siapa?
Tak berhak aku merasakan kecemburuan itu kepadanya.
Aku merantau ke kota orang. Barangkali di sana
selain menuntut ilmu juga bisa menyembuhkan luka. Aku berusaha untuk terus
menjauh darinya dan menghilangkan komunikasiku dengannya. Kali ini dia menjalin
hubungan dengan perempuan itu cukup lama. Selalu memamerkan kemesraan berdua di
akun sosialnya. Hingga suatu ketika karena sudah tak tahan lagi, akhirnya aku
menghapus kontak sosial medianya. Sejak itu aku tak tahu lagi kabarnya.
Setelah setahun lebih menuntut ilmu di kota orang,
ku dengar dia putus hubungan dengan perempuan itu. Aku biasa saja mendengarnya
karena memang aku sudah tak lagi menaruh rasa. Iya, barangkali waktu itu aku
menyimpulkan demikian. Sudah tak lagi ada luka setiap kali aku mendengar
namanya. Mungkin karena sudah lama juga aku tak melihat batang hidungnya. Ku
dengar juga perempuan itu masih saja mencintainya, patah hati sebegitunya. Aku
pura-pura tak tahu dengan kabar itu dan sudah begitu lama juga aku tak
berkomunikasi dengannya. Aku hanya bisa mengetahui kegiatannya lewat jejaring
sosialnya. Kemudian, beberapa bulan setelah dia putus hubungan, ada pesan masuk
di akun media sosialku. Satu nama yang seketika membuatku heran tak percaya,
dia datang menyapa. Ku balas pesannya, dia menanyakan kabar dan kesibukanku,
kemudian obrolan kami terus berlanjut. Dia sering mengirimiku pesan tengah
malam. Awalnya ku tanggapi biasa saja, tetapi lama kelamaan aku merasakan
kerinduan jika pesannya tak menyapa. Aku memang berlebihan!
Liburan semester ganjil kemarin aku pulang ke
rumah. Dia juga pulang. Kami berada di kota yang sama. Seperti yang sudah ku
duga, dia mengajakku bertemu. Hari itu aku dengannya berjumpa lagi setelah
sekian lama tak ada komunikasi. Awalnya biasa saja, tetapi lama-lama aku
merasakan debar itu lagi. Debar yang sama saat dulu aku sering bersamanya. Aku tidak
tahu sekarang hatinya milik siapa atau aku tidak tahu sekarang dia sedang suka
dengan siapa. Namun ku harap untuk saat ini, aku tak ingin menaruh rasa lagi.
Aku tak ingin lagi merasakan kegetiran untuk kesekian kali. Ku mohon untuk saat ini, hatiku jangan kau
jatuhkan lagi!