Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Kamis, 09 Februari 2017

Sumber : Tumblr

Usiaku baru delapan tahun, kelas tiga sekolah dasar. Saat itu aku sudah mulai menyukainya. Aku tidak tahu mengapa di usia yang semuda itu sudah mengenal cinta, bahkan untuk anak usia sekolah dasar hal itu masih terdengar asing di telinga. Aku tidak tahu apa makna cinta yang sebenarnya. Yang ku tahu hanya, aku selalu suka apapun yang berkaitan dengannya. Aku suka melihatnya tersenyum. Aku suka melihat dia bermain sepak bola bersama teman-teman sekelas saat jam olahraga berlangsung. Aku selalu suka melihat gerak-geriknya ketika sedang menggambar sesuatu saat jam seni rupa. Aku suka dengan semua hasil karya menggambarnya. Aku dengannya selalu satu kelas di bangku sekolah dasar. Duduk yang selalu berjauhan tetapi aku merasa selalu diperhatikan. Aku dengannya jarang berbincang, bahkan sekadar menyapa pun tak berani. Aku dengannya sangat dekat, tetapi berjauhan. Saling mengenal, tetapi malu memulai percakapan. Bicara hanya sewajarnya, pun menyangkut mata pelajaran atau disuruh oleh wali kelas kami. Aku dengannya saling kejar-kejaran peringkat kelas, tetapi tetap saja aku yang selalu menang. Dia yang selalu ku pandang istimewa dari kebanyakan teman laki-laki yang lain. Aku dengannya saling memendam perasaan sampai kelas enam sekolah dasar. Selama itu aku dengannya selalu dijodoh-jodohkan oleh teman-teman satu kelas, pun tak jarang guru kami juga ikut-ikutan.
Tiga tahun menaruh rasa padanya membuat jarakku dengannya seperti ada sekat yang memisahkan. Aku dengannya jarang sekali berbincang lama seperti kebanyakan teman pada umumnya. Aku dengannya sama-sama malu mengungkapkan rasa. Hingga pada suatu hari  ketika pulang sekolah saat usiaku sudah menginjak sebelas tahun—kelas enam sekolah dasar, ketika semua teman-teman saling berlarian keluar kelas untuk segera pulang, ada seseorang yang menepuk pundakku di tengah keramaian itu seraya memanggil namaku.
“Ara.” Katanya.
Aku membalikkan badan dan ku lihat dia sedang berdiri di hadapanku. Seketika semua mata tertuju pada kami.
“Anu.. emmm... aku suka sama kamu.” Begitu katanya dengan suara terbata-bata yang hampir terdengar oleh telinga-telinga yang sedang menyaksikan kami berdua.
Beberapa detik kemudian, wali kelas kami keluar. Entah apa lagi yang terjadi setelah itu karena ketika dia mengucapkan kalimat tersebut, aku segera membalikkan badan kemudian melangkah meninggalkannya yang sedang berdiri di tengah keramaian tadi. Sejak kejadian itu aku membencinya. Dia sudah mempermalukanku di depan banyak orang. Keesokan harinya seperti yang sudah ku duga, teman-teman sekelasku akan mengejekku karena kejadian hari itu. Memang benar aku sudah menyukainya sejak lama, tetapi bukan seperti ini yang ku minta. Sejak kejadian hari itu, jarakku padanya semakin menjauh sampai kami lulus sekolah, tak pernah sekalipun saling menyapa.
Usiaku menginjak dua belas tahun. Aku mendaftar sekolah menengah pertama favorit di kota di mana aku tinggal. Ternyata dia juga mendaftar sekolah yang sama denganku. Aku dengannya diterima di sekolah itu, aku dengannya satu sekolah lagi tetapi tak pernah satu kelas. Aku dengannya menemukan teman-teman baru sehingga ku pikir saat itu mungkin dia akan melupakanku. Namun nyatanya tidak seperti yang ku duga. Entah bagaimana saat itu komunikasi kami kembali ada. Aku baru saja beberapa bulan duduk di bangku kelas tujuh sekolah menengah pertama, saat itu dia mengungkapkan lagi perasaannya padaku melalui secarik kertas yang ia titipkan pada salah satu temanku.
“Ara, ada surat untukmu.” Kata temanku saat bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu.
Dengan heran aku menerima surat itu. Ku masukkan ke dalam tas, kemudian bergegas keluar kelas. Ku baca suratnya ketika sampai di rumah. Di bagian bawah kertas itu tertulis namanya. Seketika ada perasaan bahagia. Ku balas surat itu dan ku titipkan kepada temanku untuk menyerahkan padanya. Aku menerima perasaannya, yang kemudian sejak itu aku dengannya menjalin hubungan.
Sekali lagi, usiaku dua belas tahun. Aku masih belum begitu paham apa makna cinta yang sebenarnya. Namun yang ku tahu aku masih saja menaruh rasa padanya, malu-malu jika kami sedang bersama. Hubunganku dengannya hanya sebatas lewat pesan singkat. Kami jarang bersua meskipun ada di sekolah yang sama. Sesekali bertemu, tetapi tak banyak bicara. Hubunganku dengannya hanya bertahan sekitar tujuh bulan. Saat itu sekolah mendekati ujian kenaikan kelas, dia memutuskan hubungan kami. Sebenarnya tak ada masalah, hanya saja mungkin dia merasa bosan. Dan yang ku tahu saat itu dia diminta temannya untuk memutuskan hubungannya denganku, kemudian menjalin hubungan dengan salah satu teman sekelasku yang ku yakin benar saat itu dia tidak menaruh rasa apapun kepada temanku itu. Mereka menjalin hubungan yang hanya bertahan sebentar. Aku masih saja menaruh rasa padanya, tetapi aku membencinya. Aku masih menaruh luka yang luar biasa, tetapi dia tidak memedulikannya.
            Aku dengannya kembali lagi menjadi orang asing seolah tak saling mengenal. Berpapasan tetapi pura-pura tak melihat. Berjumpa tetapi tak saling menyapa. Lagi-lagi aku membencinya, tetapi masih saja menaruh rasa.
             Aku sudah memasuki kelas delapan. Usiaku menginjak tiga belas tahun. Ku dengar dia sudah menyukai orang lain, teman satu kelasnya sendiri. Ku dengar dia sudah menjalin hubungan dengan teman sekelasnya itu. Tak jarang aku selalu melihat mereka berduaan sepulang sekolah. Ketika itu juga aku pura-pura tak melihat. Seketika itu juga seperti ada yang menghempas di dada, sesak rasanya. Aku bertahan dalam rasa itu sampai kelas sembilan ketika sudah mendekati ujian kelulusan.
            Saat itu ku dengar dia sudah tidak menjalin hubungan dengan orang itu, sebut saja F. Aku tak peduli karena saat itu aku sudah meyakinkan diri untuk tidak mengetahui apapun lagi tentang sosoknya. Ujian kelulusan semakin dekat. Seperti biasa ada budaya saling meminta maaf. Entah secara langsung ataupun melalui pesan singkat. Aku bukan tipe orang yang sebegitunya meminta maaf hanya karena akan menjalani ujian kelulusan.
            Usiaku lima belas tahun lebih beberapa minggu. Saat ujian kelulusan tinggal menghitung hari, dia datang mengirimkan pesan singkat kepadaku. Ketika itu aku baru saja bangun dari tidur siangku. Ku lihat ponsel yang ku taruh di dalam lemari kamar. Ada dua pesan yang terpampang di sana. Semuanya nomor yang tidak ku kenal. Ternyata pesan itu dari dia, kemudian satu pesan lagi dari orang itu—F. Dengan sedikit tak percaya ku baca kedua pesannya. Bagaimana bisa mereka mengirimkan pesan di waktu yang sama. Apa masing-masing dari mereka sudah bersepakat untuk mengirimkan pesan ini kepadaku? Dari mana mereka mendapatkan nomor ponselku. Kedua pesan itu berbeda, tetapi mengandung makna yang sama—meminta maaf. Ku balas pesan itu seadanya. Ku simpan nomornya, tetapi tidak dengan orang itu.
            Aku lulus sekolah menengah pertama dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku mendaftar jenjang sekolah berikutnya di luar kota. Dia mendaftar sekolah di kota kami. Aku dengannya tidak satu sekolah lagi. Liburan kelulusan yang cukup lama. Sejak kelulusan itu, aku kembali lagi berkomunikasi dengannya. Dia yang terlebih dahulu mengirimkan pesan singkat ke nomorku. Awalnya ku tanggapi biasa saja dan seadanya. Saat itu aku sudah melupakan perasaanku padanya dan bersikeras untuk tidak lagi menaruh rasa. Namun entah mengapa sejak itu aku dengannya dekat kembali. Dia sering mengajakku bertemu walaupun sekadar jalan-jalan menikmati kota tanpa tujuan. Aku dengannya sudah tidak lagi canggung seperti sebelum-sebelumnya. Meskipun tak jarang sesekali masih ada rasa malu di antara kami.

..... 

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments