Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Senin, 28 Maret 2016



Percakapan Akhir Pekan
“Kenapa kamu suka menulis?”
“Karena aku tak pandai berbicara.”
“Bukankah menulis juga butuh kepandaian?”
“Tidak!”
“Lalu?”
“Hanya sebatas ungkapan hati dalam bentuk tulisan.”
“Aku tak mengerti.”
Aku berdiri dari tempat dudukku lalu bergegas meninggalkan ruangan itu. Aku berjalan menyusuri koridor kelas. Hanya segelintir orang yang ada di sana. Tangan kananku memegang tas punggung, sementara tangan kiriku memegang laptop. Aku ingin mencari tempat hening, sunyi dan tak ada suara. Namun beberapa detik berlalu, seperti ada suara langkah kaki yang mengikutiku. Ku percepat langkahku, tetapi langkah kaki itu semakin dekat. Aku berhenti tiba-tiba lalu menoleh ke belakang. Orang itu lagi.
“Apa hidupmu hanya untuk menganggu urusan orang lain?” tanyaku sinis seraya melangkahkan kaki meninggalkan orang itu.
Dia menyusul langkahku, berjalan tepat di sampingku.
“Aku tak peduli dengan perkataanmu. Mau kemana, Arini? Aku akan ikut denganmu.”
            Aku masih terdiam sambil menuruni satu per satu anak tangga untuk sampai di lantai dasar. Kali ini suasana sudah semakin ramai. Hiruk pikuk obrolan orang lain mendengung keras di telingaku, tetapi aku tak peduli. Ku percepat langkahku untuk sampai di sebuah taman yang biasa digunakan kebanyakan siswa untuk menyendiri, baik membaca buku maupun sekadar menenangkan pikiran.
Orang ini masih saja betah mengikutiku. Meskipun ku akui sikapku sangat dingin dengannya, tetapi sebenarnya, dia merupakan salah satu orang yang sangat peduli padaku.
“Kau ini misterius sekali, Ar. Karena itu aku suka padamu.”
Seketika aku terkejut. Namun aku pura-pura tidak peduli dan tetap melanjutkan perjalananku.
Aku duduk di sebuah tempat duduk panjang terbuat dari kayu, lengkap dengan mejanya. Ada pohon besar di sampingnya, sehingga tempat ini tidak terkena cahaya matahari yang panas pada siang hari. Aku meletakkan tasku di atas meja, mengeluarkan beberapa buku fiksi yang telah ku baca. Kemudian menyalakan laptop kembali. Sementara orang itu duduk tepat di sampingku. Kami terdiam beberapa menit. Selama beberapa menit itu pula, aku hanya terdiam menatap layar laptopku.
“Ucapanmu tadi, kau sadar kan?” tanyaku memecah keheningan.
“Ucapanmu yang mengatakan aku seorang yang misterius,” lanjutku sekali lagi.
Dia tertawa kemudian mengangguk.
“Maaf untuk sikapku tadi, karena aku tak suka jika diganggu ketika sedang sibuk mengerjakan sesuatu.”
“Aku mengerti.” Jawab Andra.
“Lalu, kenapa kau mengikutiku?”
“Aku ingin tahu apa yang sedang kau tulis.”
“Ah ini hanya tulisan tak berguna. Hanya untuk mengisi kekosongan saja.” Jawabku sambil berusaha mengalihkan layar laptop itu agar tidak terbaca olehnya.
Kami terdiam lagi beberapa saat.
“Apa menurutmu hobiku ini aneh?”
“Tidak. Semua orang punya kesenangannya masing-masing.”
“Lalu kau sendiri? Apa yang membuatmu senang?”
“Berada di antara orang yang patah hati.”
“Maksudnya?”
“Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara dan jujur pada diri sendiri. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri. Orang-orang patah hati adalah proses untuk menuju dewasa. Sebab itulah, aku merasa senang bisa belajar dari sana.”
“Aku tak mengerti.”
“Kau tak harus mengerti.”
“Apa kau pernah patah hati?”
“Pernah. Saat itu patah hati telah mengubah semua warna yang ku lihat menjadi gelap, tak berbentuk, hitam pekat dan legam.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Ikhlas. Kata sederhana namun sangat memberikan kekuatan luar biasa. Kau sendiri, apa kau pernah patah hati?”
“Pernah. Dan aku tak ingin merasakannya lagi.”
“Lalu apa yang kau lakukan?”
“Menulis, mengungkapkan segalanya lewat kemampuan diksi yang  sedikit ku punya.”
“Kenapa harus menulis? Apa tak ada hal lain?”
“Ada. Namun aku memilih untuk menulis. Sebab menulis akan membuatmu jujur pada dirimu sendiri. Ketika tak ada lagi yang bisa kau ungkapkan, maka perasaanmu akan abadi dalam sebuah tulisan.”
Andra mengangguk sekali lagi.
Siang yang beranjak sore. Percakapan ini belum juga usai. Buku-buku yang ku keluarkan tetap saja diam di atas meja, tak tersentuh.
“Sudah akhir pekan, kau mau kemana?”
“Aku di rumah saja.”
“Kalau begitu Arini, maukah nanti malam kita pergi bersama?”
Ku alihkan pandanganku ke arahnya.
“Agar ada cerita yang harus kau abadikan antara aku denganmu.”
“Aku tahu apa yang harus ku tulis sekarang.”
Aku tersenyum padanya. Dia membalas senyuman itu.


Surakarta, 28 Maret 2016 - RA.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments