- Home »
- Perihal Kerinduan
coretan busukk
On Kamis, 30 Juni 2016
PERIHAL KERINDUAN
Hujan
lebat membungkus kota. Seperi biasa, apa yang bisa dilakukan ketika hujan
datang? Menunggunya sambil berdiam diri di sebuah ruang, memerhatikan setiap
tetesannya yang turun, sesekali menghayati setiap rintikannya yang menimbulkan
sebuah irama? atau ketika berada di luar, apa kau yakin akan terus menunggu
hujan sampai benar-benar tak menyisakan tetesannya? Itu hal yang membosankan.
Terus berdiam diri akan membuat sebuah ingatan seperti berjalan mundur
menyusuri kenangan. Sialnya, aku sedang berada di luar ketika hujan lebat itu
turun—ketika masih berjalan menuju sebuah halte yang tak jauh dari kampus.
Halte ini tak cukup untuk melindungi beberapa orang yang sedang menunggu bus
dari derasnya air yang turun. Tubuhku basah terkena tetesannya yang besar, tak
masalah. Bagiku ini sangat menyenangkan. Aku suka hujan. Aku suka melihat
setiap rintikannya yang turun, aku suka sesekali mendengar gemuruhnya yang
menusuk di telinga. Aku suka, hujan membawa kesejukan. Namun tak jarang juga,
hujan membawa kerinduan. Ku lihat
beberapa orang kedinginan. Ada satu yang membuatku tertarik, seorang ibu paruh
baya membawa seorang anaknya yang ku perkirakan berusia sekitar sepuluh tahun. Sesekali
bocah itu kegirangan melihat tubuhnya yang basah oleh air hujan. Tak jarang dia
melompat lompat di atas genangan air yang ada di permukaan halte, seolah ini
kali pertama dia melihat hujan. Tak jarang juga, ibunya terus menasihatinya
supaya tidak bertindak berlebihan. Aku memerhatikannya sambil tersenyum tipis,
kemudian memandang keadaan sekitar. Langit begitu hitam pekat, angin berhembus
agak kencang. Entah perasaanku saja atau bukan, kali ini bus yang ku tunggu tak
jua datang. Mungkin semesta sengaja membiarkanku lebih lama di sini untuk
memerhatikan tetesan air hujan di antara orang-orang dewasa ini. Tiba-tiba
bocah itu berdiri tepat di sebelahku, mengulurkan tangannya ke depan sembari
membuka telapak tangan—membiarkan tetesan itu jatuh di atasnya. Aku merendahkan
badan sehingga kepalaku sejajar dengan tingginya. Aku mengikuti apa yang dia
lakukan. Seketika bocah itu memandangku dengan heran.
“Apa
ini kali pertama kau hujan-hujanan?”
Bocah
itu mengangguk dengan polos.
“Bagaimana rasanya di bawah tetesan
air hujan?”
Dia memandangku, sekali lagi sambil
terdiam. Aku mengulas senyum tipis untuknya.
“Kau tidak kedinginan? Kali ini
hujannya lebat, mengapa tidak berlindung saja dalam pelukan ibumu?”
Akhirnya dia bersuara.
“Ini
kesempatanku hujan-hujanan karena ketika di rumah, setiap hujan datang bunda
selalu melarangku untuk keluar.”
“Pasti
ini hari yang menyenangkan untukmu ya.” Ucapku kepadanya, dia mengangguk.
Ku
lihat ibunya sedang memerhatikan ketika aku berbincang dengannya. Ku sapa dia
dengan senyuman, kemudian menggandeng bocah itu untuk kembali dekat dengan
ibunya. Aku berdiri di sebelahnya.
“Seperti
anak ibu suka sekali hujan-hujanan.”
Wanita
paruh baya itu tertawa kecil.
“Mungkin
dia memanfaatkan kesempatan, mbak. Nanti kalau sudah sampai rumah tidak saya
perbolehkan seperti ini lagi.” Dia tertawa sekali lagi.
Di
tengah percakapan kami yang cukup panjang, tiba-tiba bus yang kami tunggu
datang. Seketika orang-orang yang awalnya duduk langsung berdiri mendekati tepi
halte. Wanita itu menggandeng anaknya untuk masuk bus. Kali ini bus yang kami
tumpangi tidak begitu banyak orang, sehingga kami mendapatkan bagian tempat
duduk masing-masing. Aku berada di dekat jendela. Sementara ku lihat wanita itu
memilih untuk duduk di depan—dekat dengan pengemudinya. Tak ada perubahan,
hujan masih turun. Bisa ku rasakan dingin di luar. Jendela menguap sebab ada
tetesan air di sana. Aku menyandarkan kepalaku. Berdiam diri memandang jalanan
sekitar yang begitu bising sembari mengingat sesuatu tentang pemandangan di
halte tadi. Begitu menyenangkan menjadi anak kecil, ketika tak ada beban dan
menganggap semua masalah hanya milik orang dewasa. Waktu begitu cepat berlalu
hingga tanpa ku sadari, ternyata aku sudah hampir di penghujung belasan.
Rasanya baru kemarin pagi aku berangkat sekolah. Pagi hari yang selalu
dibangunkan oleh ibu, sarapan yang selalu sudah disiapkan oleh ibu, dan hal
lain yang selalu dilakukan oleh ibu. Aku merindukannya. Ingat bagaimana dahulu
sewaktu aku masih seusia bocah itu, aku selalu tidak diperbolehkan
hujan-hujanan oleh ibu setiap kali hujan datang. Sebab waktu itu yang ku pikirkan
hanya kesenangan yang diinginkan, maka aku selalu melontarkan komentar kepada
ibu supaya beliau berubah pikiran untuk mengizinkan keluar menikmati tetesan
air hujan. Aku hanya bisa melihat hujan dari balik jendela rumah, menyaksikan
anak-anak seusiaku yang lain yang diperbolehkan oleh orangtuanya untuk keluar. Namun semakin lama aku mengerti, ada sebuah
alasan mengapa ibu melarangku untuk hujan-hujanan. Cukup dari sini saja, hujan
bisa dirasakan hanya dengan melihatnya, tanpa ikut basah terkena tetesannya. Sebab
dari sini, kau juga akan tahu betapa dahsyatnya nikmat dari Tuhan. Sebab dari
sini, hujan akan membuat kesejukan di antara orang-orang yang kau sayangi tanpa
harus berada di bawah tetesannya. Aku mengerti. Dan kini, aku merindukan masa
kecilku, aku merindukan ibu, dan aku merindukan kampung halamanku.
Bus
itu melaju dengan kecepatan konstan. Tak sampai lima belas menit, dia sudah
membawaku sampai di halte tujuan. Aku berdiri dari tempat dudukku. Ku lihat
wanita itu masih duduk di tempatnya, barangkali bukan ini tujuan akhirnya.
Bocah itu melihatku ketika aku melihat ke arah mereka. Aku tersenyum sembari
memberi kode kepadanya agar ibunya menengok ke arahku. Aku tersenyum sekali
lagi sambil perlahan melangkahkan kaki keluar dari bus itu. Rupanya semesta
masih belum bosan mengeluarkan tangisan alamnya. Akhirnya, aku membiarkan
tubuhku menerobos tetesan hujan yang lebat sembari mengingat bahwa, sudah
terlalu lama aku berada di kota orang, sungguh aku ingin pulang. Menikmati
waktuku di kampung halaman bersama keluarga. Aku merindukan mereka, terlebih
aku merindukan ibuku. Kapan waktu bersedia membawaku pulang ke sana?