Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Minggu, 24 Mei 2015



Sebuah Doa untuk Pertemuan Singkat



Bulan tahu kelabu datang. Malam sembunyikan bintang. Parasmu kian menghilang. Pekat saja rindu dalam genggaman. –Nafa-

Lidahku sempat kelu dan hatiku mati rasa selama beberapa waktu. Leburan rasa sakit, sedih, kecewa, marah pernah begitu pekat menyesaki dada. Rasanya aku pun ingin menghilang beberapa waktu dari pandanganmu. Sempat pula berusaha mengenyahkanmu dari pikiran. Namun ternyata usahaku sia-sia. Aku paham betul bahwa diam-diam kamu pun ikut terluka dan berduka. Mungkin kau menyesali tingkah bodohmu yang membuat hubungan kita terkoyak. Kau mengutuki diri yang sempat menggurat luka di dada. Namun kau tak pernah berani mengakuinya. Kini, setelah sekian lama waktu berjalan, hatiku mulai bisa terbuka celahnya.

Tetapi tetap saja ada luka tentang kekecewaan yang tertoreh dan merebak di permukaan hati saat ku lihat batang hidungmu terjangkau lagi oleh mataku. Debar jantung dua orang yang ragu, yang salah satunya sedang jatuh cinta kepada perempuan lain, sedangkan perempuan yang di hadapannya tetap teguh pada perasaannya. Tiba-tiba rasa kecewa, luka dan kepedihan itu masuk pikiran tanpa permisi. Mereka menginjak-injak kenangan manis yang pernah ada, merobohkan menara kepercayaan yang selama ini menjadi kebanggaan dan pada akhirnya memusnahkan harapan yang telah tertata rapi bersama impian. Mendadak hatiku tak mampu merasa. Tak ku temukan keteduhan dan kasih sayang yang selalu ada di setiap kali kita bersua. Tak ada pula rasa hangat yang diam-diam menyusup masuk ketika mata kita saling berjumpa.

Sedetik kemudian aku menjelma menjadi sosok yang pemberani. Mengungkapkan segala sesuatu yang selama ini mengutuk diriku untuk segera dikeluarkan. Ku katakan yang selama ini terpendam dalam pikiran dengan semampunya, menahan debar jantung yang berkejaran dan mengatur napas sedemikian rupa agar tak ada tangis yang pecah di udara. Tak sudi aku menangis di hadapanmu, tak sudi pula aku terlihat lemah di depanmu. Maka aku pun tak berani menatap ke arahmu. Aku tak mau kau melihat mataku yang mungkin sedang berkaca-kaca meskipun kita berada di tempat agak gelap dengan malam tanpa bintang karena hujan baru saja turun. Aku tak butuh dikasihani. Aku bersikeras bahwa aku bisa berdiri sendiri.

Sesekali aku menatap ke arahmu. Memastikan apakah kau masih berlapang dada mendengarkan semua ucapanku. Kau sempat mengembangkan senyuman, entah itu senyuman ingin menertawaiku atau apa, aku benar-benar tidak tahu dan aku tidak peduli. Malam itu dengan susah payah aku merangkai aksara demi aksara untuk ku persembahkan padamu, tetapi aku merasa tak mendapatkan penghargaan darimu. Bahkan sampai aku mengakhiri kata demi kata itu, kau tak menjelaskan sesuatu. Kita saling terdiam. Aku menunggumu berbicara. Tak ada ucapan maaf atau terima kasih yang keluar dari bibirmu. Aku mengutuk diriku, yang masih saja berlapang hati menunggumu mengatakan kalimat yang mungkin akan sedikit melegakan debar jantungku. Malam itu seorang perempuan tanpa rasa malu mengungkapkan perasaannya padamu, tetapi seorang lelaki yang di hadapannya ini bahkan tak tahu bagaimana menyikapinya. Aku merasa hanya beberapa kalimat saja yang masuk ke telingamu. Aku merasa percuma.

Tak begitu lama kemudian kau bersuara. Hanya kalimat saran yang keluar dari bibirmu dan kau tak mengatakan sesuatu tentang apa yang ada dalam hatimu. Sedetik kemudian aku sadar, ternyata semua memang telah selesai. Aku hanya sebuah angin lalu yang sempat membuat kesejukan dalam dirimu. Aku juga tahu bahwa aku sudah terlambat mengatakan semuanya kepadamu, sebab hatimu sudah menemukan arah lain yang jauh lebih sempurna dariku. Namun aku masih terkunci di sana. Hatiku masih tertinggal dalam dirimu dan aku belum bisa mengambilnya kembali. 

Rasa yang ada di dalam hati ini tak bisa berdusta. Ia masih menunjukkan getarannya tiap kali wajahmu melintas di pelupuk mata. Pengorbanan dan usaha yang tanpa henti nyatanya tak ada harganya. Jika sudah ada orang lain, maka aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan aku benci ini, ketika rasa canggung ini masih milikmu dan aku masih saja mencari dan memahamimu. Sementara detak jantungmu yang berkejaran bukan lagi karena dekat denganku. Aku bukan prioritasmu.

Aku bukan dewa yang bisa bertitah, sama sepertimu aku juga manusia. Dan tentunya aku tak berhak mengatur semuanya. 

Di, aku sayang kamu. Namun aku lebih memilih mengikhlaskanmu.

Wahai waktu, bisakah berhenti sebentar? Aku ingin lebih lama lagi berada di sini. Memandangi sosok yang ada di hadapanku dengan penuh kerinduan. Atas segala amin yang terucap dengan suara yang tak terdengar namun merobek keheningan. Kita melangkah ke arah yang berbeda. Untuk pertemuan yang begitu sebentar dan sempat menciptakan sebuah pelukan singkat. Malam itu seluruh rinduku berbuah lara. Sejak malam itu juga aku tak ada selera lagi untuk disiksa, maka malam itu juga aku berhenti. Aku berhenti mengetahui apapun soal dirimu. Aku berhenti sampai di sini. 

Ternyata kita perlu belajar lagi soal cinta, yang ku tahu semestinya cinta bukan soal kepuasan batin semata. Namun saling melengkapi dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada.
Kita perlu belajar lagi soal cinta.

Hanya pada kata semoga, aku penuh pengharapan dan mempercayakannya supaya nadiku tidak kehilangan rima.

Terima kasih telah mendewasakan. Ku harap di manapun kau berada, di sana ada bahagia.
Aamiin.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments