Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Sabtu, 21 Maret 2015



HALTE BUS




Sudah tiga puluh menit kita di sini menunggu derasnya hujan yang tak kunjung reda. Hanya kita berdua, kamu dan aku. Di tempat ini, di halte bus. Sudah banyak kata yang kita lontarkan untuk menghilangkan kebosanan. Sesekali kita tertawa, sesekali pula kamu menatap mataku sehingga membuatku gugup. Jalanan di sekitar nampak sepi. Genangan air berwarna coklat muda itu telah menutupi jalanan. Dingin, ku biarkan angin berhembus membelai halus pori-pori kulitku.  Aku menatap wajahmu, kamu membalas tatapan itu. Aku tahu itu, wajah penuh lelah. Karena seharian kita berkeliling kota tanpa tujuan. Dan ketika kita sedang menikmati kebersamaan, tiba-tiba hujan turun. Kamu menggenggam tanganku menuju tempat ini. Ku biarkan tanganku berada dalam genggamanmu. Tidak akan ku lepaskan sebelum kamu melepaskannya, sebab aku rindu genggaman itu. Genggaman tanganmu yang sempat hilang beberapa tahun yang lalu. 

Setahun berlalu saat kamu hadir kembali dalam hidupku. Dalam setahun itu pula kita begitu dekat. Kamu sering mengajakku pergi. Sehingga perasaan ini muncul kembali. Bukankah kamu juga merasakan hal yang sama? Lalu mengapa tidak terus terang saja? Sudah sejauh ini namun tak pernah sampai. Apa kamu takut? Merasa bersalah dengan kejadian beberapa tahun yang lalu? Lupakan. Aku lelah berharap tanpa adanya kepastian. Dalam setahun itu kamu datang dan pergi. Menghilang kemudian muncul kembali. Muncul untuk mengajakku pergi bersama, dan anehnya aku selalu menerima ajakan itu.  Kemudian kamu menghilang lagi, begitu seterusnya. Kamu tahu bukan? Hatiku bukanlah halte bus yang sedang kita tempati ini, dimana kamu bisa seenaknya singgah untuk menunggu kedatangan bus selanjutnya. 

Aku menyukaimu lagi. Bukan ketampananmu yang membuatku tergila-gila. Bukan. Aku hanya menyukaimu. Apakah menyukai seseorang butuh alasan? Aku yakin kamu merasakan hal yang sama. Jika tidak, mengapa kamu bersedia hadir kembali dalam kehidupanku, mengorbankan waktu untuk menikmati kebersamaan denganku?

Dalam keheningan itu aku berdiri. Ku ulurkan tangan dan ku buka telapak tanganku. Ku biarkan air hujan menetes. Kamu baranjak dari dudukmu dan berdiri di sampingku. Bisa ku rasakan bagaimana matamu memandang wajahku. 

Andra, kamu tahu? Aku suka hujan, sebab dinginnya membawa kesejukan. Tapi apa kamu juga tahu Ndra? Aku takut pada setiap rintik airnya yang turun. Karena setiap kali hujan datang, rindu menghampiriku tanpa rasa bersalah.

“Sudah lama aku ingin mengatakannya. Aku minta maaf.”
Tiba-tiba kamu memulai percakapan.
“Kenapa?” ku tatap wajahmu penuh tanda tanya.
“Maaf beberapa tahun yang lalu, di tempat ini.”
Aku terdiam. Ingatanku berputar menaiki mesin waktu jauh ke masa lalu.

Sore di halte bus, hujan turun.
Kamu menghampiriku. Raut muka tidak seperti biasanya. Aku tahu akan terjadi sesuatu. Aku menatapmu, menunggumu berbicara.

“Maya.” Panggilanmu dengan suara yang berat.
Aku masih terdiam. Seperti ada sesuatu yang menggores hatiku. Jantungku berdegup lebih cepat daripada biasanya.
“Mulai hari ini tolong lepaskan genggamanmu dariku.”
“Kenapa?”
Kali ini kamu yang diam. Pandanganmu beralih menuju tetesan air hujan itu.
“Lepaskan saja. Aku ingin pergi.” Katamu.
“Kalau begitu, mari pergi bersama!”
“Tidak bisa. Hujan turun begitu deras. Aku takut kamu jatuh sakit.”
“Tak apa, ada kamu yang bisa melindungiku.”
“Sudah tidak bisa. Aku ingin pergi sendiri. Maaf.”

Kamu melangkahkan kaki meninggalkanku. Ku tatap punggungmu hingga tak lagi tampak di balik tetesan air hujan itu. Ada yang menghempas dada, sesak. Air mataku mengalir. Punggungmu sudah menghilang. Aku di sini sendirian. Hari sudah mulai petang dan aku harus segera pulang, tetapi bus itu sudah melaju beberapa menit yang lalu. Sama seperti dirimu yang melaju di balik derasnya hujan sore ini. Akhirnya aku duduk dan memutuskan menunggu kedatangan bus selanjutnya. Sejak itu aku membenci hujan di sore hari. Ingatanku selalu berputar pada kejadian itu. Rasa sesak selalu muncul.
**

“Maaf aku sudah lupa.” Kataku omong kosong.

Tidak, sebenarnya aku tidak lupa bahkan aku terus mengingatnya. Rasa sakit itu, luka itu dan semuanya aku ingat. Aku ingat bagaimana usahaku untuk melupakanmu waktu itu begitu sulit. Aku belum bisa, bahkan sampai saat ini aku masih belum bisa. Rasa yang bagiku sudah menghilang seiring berjalannya waktu kini tumbuh kembali. Di saat aku sendirian menunggu datangnya bus selanjutnya, bus yang sebelumnya sudah melaju itu kembali ke halte lagi. Kamu kembali.

“Tidak, kamu masih ingat.”

Jantungku berdebar seketika. Kita terdiam beberapa saat. Dan aku tidak berani menatap matamu. Perasaanku campur aduk. Ingin sekali aku memakimu karena lagi-lagi aku harus mengingat kejadian itu. Rasa marah juga benci menjadi satu. Aku muak mengingatnya. Sungguh aku ingin melupakannya, tetapi mengapa kamu membahasnya. 

Hujan sudah cukup reda, menyisakan beberapa butir air hujan yang masih turun. Angin berhembus, dingin sekali. Ku tatap jalanan. Aku terdiam. Kamu juga masih terdiam. Aku menoleh ke arahmu. Kali ini aku memberanikan diri menatap matamu. 

“Aku sudah lupa,” ku ucapkan kalimat itu sekali lagi. Meskipun aku sadar mungkin tatapan mataku padamu mencerminkan kebohongan. “Hujan sudah agak reda, Ndra. Ayo pulang!”

Diam. Seperti ada sebuah magnet yang menguras habis seluruh tenagaku. Tubuhku melemah. Tatapan itu, aku mengingatnya.

Kamu mengangguk pelan. Langit sudah cukup terang. Hujan benar-benar sudah reda.  Aku tersenyum menatap jalanan. Akhirnya waktu yang ditunggu telah tiba. Tiga puluh menit lebih di sini membuatku bosan dan kedinginan.  Ku langkahkan kaki namun tiba-tiba kamu menarik lenganku.

“Genggam tanganku lagi.”  katamu.


R. Andriani, 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments