- Home »
- Saat Hujan Membungkus Kota
coretan busukk
On Rabu, 09 November 2016
Saat Hujan Membungkus Kota
Berjalan di sepanjang koridor kota,
menyaksikan orang-orang berlalu lalang dengan kesibukannya. Sementara kendaraan
masih saja menyuarakan dirinya—melintasi jalanan padat di tengah kota yang
pongah. Perih tak lagi menyingsing raga, meskipun sekelumit kamu berkeliaran
yang mengorbit di kepala saat senja mulai menyapa. Di tengah kepadatan kota
saat senja datang, aku selalu melihat kamu dalam bayangan. Di sana—di halte kota,
aku dan kamu saling bertemu di sebuah kesempatan yang telah diciptakanNya. Rasa
peduli atas pertemuan yang mungkin diriku sendiri tidak sadar bahwasanya
pertemuan yang menciptakan kebersamaan itu hanyalah sementara, yang kemudian
menjadikan pembelajaran berharga bagi masing-masing diri kita.
Kita tahu bahwa semuanya tidak ada yang
serba kebetulan. Sebab apapun yang telah terjadi sudah dituliskan, termasuk
hujan yang masih setia membungkus kota dan memerangkap kita yang juga masih
setia menunggu kedatangan bus selanjutnya. Kita saling terbungkam, lama waktu
berjalan namun tetap saja tak ada tegur sapa. Beberapa hari setelah pernyataan
mengejutkan itu terlontar dari bibirmu, seketika aku tak ingin lagi mengenal
namamu. Namun, semesta masih saja memberikan kesempatan tak disengaja untuk
bertemu, termasuk hari itu. Ketika kota masih dilanda hujan lebat, kemudian
kita sama-sama terperangkap di bawah tetesan airnya di halte kota. Kita saling
berdiri di antara beberapa orang yang juga masih menunggu kepastian—menunggu kepastian
kapan hujan berhenti, menunggu kepastian berapa lama lagi mereka harus pulang. Aku
terus sibuk memikirkan apa yang sebenarnya ada di pikiranmu. Mengapa hubungan
bisa merenggang hanya sebuah alasan untuk tidak saling ada ikatan? Mengapa kita
pernah bersama jika akhirnya pura-pura tidak saling mengenal? Mengapa ku harus
merasakan kebencian? Aku pernah meraung karena rindu yang datang tanpa permisi,
seperti alunan suara tetesan hujan yang keras dan angin sayu yang tiba-tiba
datang dikirim oleh semesta. Rinduku
layaknya kabut yang semakin malam semakin menebal namun kau tak kunjung
datang. Sedalam-dalamnya aku pernah
menjerit tak menentu apa kau pernah mendengar? Di tengah kesibukan yang mengundang
semakin dalamnya kebencianku padamu, bus yang kami tunggu akhirnya tiba. Kita
tetap saja berpura-pura tak peka hingga hujan di kota mulai mereda. Kita saling
tertunduk, kemudian aku melangkahkan kaki menaiki bus itu, sementara kau
melangkahkan kaki turun dari halte. Kita berjalan ke arah yang berbeda.
Ternyata tujuan kita berbeda meskipun berada di tempat yang sama. Langkahmu
cepat di bawah rintik hujan yang masih tersisa. Ku perhatikan punggungmu mulai
menjauh di sepanjang trotoar jalanan. Kemudian bus yang ku naiki mulai berjalan
meninggalkan halte kota. Aku tertunduk lagi. Kapan ku bisa kembali bertemu
denganmu?
Namun semua hal yang terjadi bukan tanpa
alasan. Setiap peristiwa menciptakan pesan berharga jika mampu memetiknya
menjadi hal yang berguna. Lama sudah aku bersikeras untuk berdiri lagi. Kau dan
aku masih berusaha menemukan jalan masing-masing. Sementara waktu telah
menyembuhkan luka yang pernah kau ciptakan. Di kota ini aku tak lagi menemukan luka.
Meskipun terkadang ingatan akan kamu datang seenaknya saja, memaksa memori
menaiki mesin waktu menuju masa lalu ketika saat itu di tengah kota yang padat
ketika matahari mulai menengelamkan dirinya, kita bertemu untuk pertama
kalinya. Juga saat hujan mengguyur kota, kita bertemu tanpa bertegur sapa. Sekali
lagi, perih tak lagi menyingsing raga, meskipun kamu selalu datang berkeliaran
di kepala.
Surakarta, 9
November 2016