Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Selasa, 10 November 2015

SECANGKIR CAPPUCCINO

Secangkir cappuccino panas baru saja ku seruput pelan penuh penghayatan, berharap seluruh dahaga dan kepenatan luluh dan hilang. Di café ini aku menikmati suasana yang syahdu meskipun ada banyak orang. Aku meletakkan kembali cappuccino di atas meja lalu mengaduknya. Kemudian ku bawa mataku menatap suasana ke luar, ke arah alun-alun kota yang kebetulan dekat dengan café ini. Ku lihat begitu banyak orang berjalan berdampingan—yang mungkin adalah kekasihnya. Aku tersenyum getir, saat ku lihat dua orang perempuan saling tertawa lepas ketika sedang berjalan masuk ke café. Aku masih menatap punggung mereka sampai langkahnya terhenti pada sebuah tempat duduk tepat di depanku. Mereka memanggil salah satu pelayan café ini, sedetik kemudian dengan cepat seorang pelayan datang ke meja mereka menyerahkan daftar menu. Dengan sigap pula salah seorang dari mereka menulis sesuatu di kertas kecil, kemudian berdiri dan menyerahkannya ke meja kasir. Dia kembali ke tempat duduknya. Aku sedang mengamati mereka, sambil sesekali menyeruput cappuccino yang kini masih tersisa setengah cangkir.
Salah seorang dari mereka berambut panjang, dibiarkannya terurai menutupi kedua pundaknya. Ada jam tangan dan beberapa aksesoris di pergelangan tangan kirinya. Dia memakai kemeja kotak-kotak bercelana jeans panjang. Kemejanya dilipat sampai tiga perempat lengannya. Sebab itulah aku bisa melihat ada jam tangan dan aksesoris di pergelangan tangan kirinya.  Tak ada gincu yang menempel di bibirnya seperti perempuan pada umumnya. Make-upnya sederhana dan sangat natural, tetapi orang ini sangat menarik. Sementara temannya, memakai rok sepanjang lutut dan kaos. Rambutnya dikuncir, yang ku perkirakan rambutnya hanya sepanjang pundak. Dia bermake-up seperti kebanyakan perempuan yang lain, gincunya tipis menghiasi bibirnya, sangat cantik. Dia hanya memakai jam tangan di pergelangan kirinya. Perpaduan yang sempurna antara keduanya. Mereka bercengkrama, tertawa lepas seakan seisi café ini hanya milik mereka berdua.
Aku kembali tersenyum seraya memandang kembali suasana di luar. Kota ini begitu memesona. Meskipun aku baru saja menginjakkan kaki di kota ini selama dua bulan, tetapi aku merasakan kenyamanan. Tempat-tempat di sini sangat indah dan siapapun yang merasakannya—aku berani menjamin tak ada kata bosan. Namun kenyamanan ini justru terkadang membuatku berkecil hati. Tak ada siapapun di sini yang menemani. Kata nyaman tak ada maknanya jika dinikmati sendiri. Di kota perantauan memang dituntut untuk mandiri. Namun bukan berarti mandiri dalam arti segala apapun yang dilakukan harus sendirian. Aku butuh teman, teman yang hanya bukan sekadar teman, ketika senang dia datang, lalu menghilang. Bukan. Aku butuh sahabat, yang bersedia menemani kesana kemari dalam senang maupun susah, yang bisa menuntun jalan ke arah kebaikan. Namun di kota ini— belum ku temukan. Bagiku ini proses adaptasi yang panjang. Ditemukan dengan orang-orang baru yang memiliki latar belakang dan sifat yang bermacam-macam. Di antara sekian banyak ini aku masih mencari. Namun bukan berarti aku tak berusaha, aku berteman dengan siapapun. Meskipun di antara mereka terkadang ada yang tidak sepemikiran dan terkadang juga ada kata-kata yang menyakiti hati, tetapi ini adalah bentuk usaha. Berharap waktu akan menyisakan yang terbaik di antara mereka.
Aku kembali tersenyum getir. Waktu memang tidak bisa dihitung mundur, tetapi pikiran bisa menghitung mundur peristiwa maupun kenangan di masa silam. Melihat bagaimana kedua sahabat yang duduk di depanku begitu akrab, aku kembali teringat sosok sahabat-sahabat yang kini sudah tersebar di kota perantauannya, menuntut ilmu dan berjuang menggapai impian dan cita-cita mereka. Aku merindukan mereka. Sahabat-sahabat yang dulu selalu menemani dalam segala macam keadaan. Aku merindukan mereka, gelak tawa dan canda, serta tindakan-tindakan konyol yang membuatku menjadi gila tawa atau bahkan lupa waktu yang terus berputar. Namun inilah hidup, kita akan bertemu orang-orang baru yang menuntutmu untuk menjadi seseorang yang baru pula, hebat dan berbeda di kehidupanmu sebelumnya.
Secangkir cappuccinoku sudah habis. Tiba-tiba di luar cuaca nampak mendung. Tak lama kemudian hujan rintik-rintik turun. Aku berdiri dari tempat duduk lalu membayar pesananku. Aku segera keluar dari café, melewati meja yang ditempati oleh dua orang tadi. Salah satu dari mereka melihatku lalu tersenyum. Ku balas senyuman itu lalu berjalan cepat keluar sebelum rintik hujan  turun dengan deras saat aku belum tiba di rumah. Namun baru saja beberapa langkah, rintik hujan itu berubah menjadi deras.
Aku menikmati hujan pertama di kota orang.

RA - 4/11/2015

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments