- Home »
- Atap Pulau Jawa
coretan busukk
On Selasa, 30 Juni 2015
Atap Pulau Jawa
Rabu,13
Mei 2015 sekitar pukul 05.11 aku berangkat ke stasiun. Aku sampai di sana dan
kedua temanku belum datang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam lebih.
Kereta yang kami naiki berangkat pukul 05.57. Tidak lama kemudian, satu temanku
sampai di stasiun. Dia menghampiriku. Namanya Iyung. Iya, sebut saja demikian.
Sepuluh menit menjelang keberangkatan, temanku yang lain—Wima menyusul. Kami
langsung masuk ke gerbong kereta. Ini pertama kalinya aku naik kereta.
Keinginan dari lama dan akhirnya kesampaian juga. Aku dan kedua temanku akan
pergi ke Malang—mendaki gunung menuju puncak yang katanya merupakan atapnya
Pulau Jawa. Sebenarnya setengah hati aku pergi ke sana. Padahal mendaki gunung
adalah kegiatan yang sudah aku inginkan dari lama. Namun belum pernah
kesampaian. Dan hari itu merupakan kesempatan yang sangat berharga yang mungkin
tidak ada lagi di lain waktu. Aku pergi dengan setengah hati senang, tapi
setengah lagi gelisah. Kenapa? Jadi begini ceritanya.
Pertama,
9 Mei 2015 pengumuman SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Itu diperuntukkan untuk semua siswa SMA/MA/SMK melalui jalur nilai akademik.
Dan aku dinyatakan lolos di PTN yang sudah ku pilih. Senang bukan main karena
artinya aku tidak perlu belajar lagi untuk mengikuti seleksi PTN. Aku membuka
halaman web di PTN yang menerimaku, ternyata di sana ada pengumuman bahwa siswa
yang dinyatakan lolos jalur SNMPTN harus melakukan pengisian biodata di web
dari tanggal 11-16 Mei 2015. Pesyaratan pengisiannya akan diumumkan lagi pada
11 Mei 2105. Maka pada tanggal itu aku membuka webnya lagi tapi persyaratannya
belum ada dan halaman pengisian biodatanya juga belum bisa. Aku hanya punya
waktu dua hari untuk mengurus pengisian biodata tersebut karena aku harus
berangkat ke Malang tanggal 13 Mei. Waktu itu orang tua menyuruhku untuk
membatalkan liburanku dan mengganti hari yang lain. Tapi aku menolaknya karena
memang jadwalnya sudah ditentukan hari itu dan tidak bisa diganti.
Persyaratan
di web baru keluar malam hari. Sialan memang! Itu artinya aku hanya punya waktu
satu hari untuk mengurus semuanya. Dan benar saja keesokan harinya pada tanggal
12 Mei aku mengurus file-file yang harus dimasukkan untuk pengisian biodata
itu. Slip gaji orang tua, kuitansi pembayaran listrik, pajak kendaraan, pajak
bumi dan bangunan yang discan sampai surat pernyataan yang harus ditandatangani
ketua RT dan pak RW. Aku selesai mengurus semuanya sampai sore hari. Kemudian
pada malam harinya sekitar jam tujuh aku mengisi biodata itu dan mengupload berkas-berkasnya.
Tapi ternyata file-file itu tidak bisa diupload. Ku batalkan untuk mengisi
biodatanya dan mencoba lagi satu jam kemudian. Tapi tetap saja tidak bisa
sampai pukul setengah sembilan. Aku bingung setengah mati. Kemudian aku
menghubungi salah satu temanku untuk menemaniku ke warnet barangkali memang
koneksi internet di rumah sedang tidak baik. Tidak usah ke warnet, katanya. Sebab di rumahnya juga ada modem
yang bisa ku gunakan. Maka sekitar pukul sembilan malam kurang aku pergi ke
rumahnya. Aku mengisi biodata sampai pukul setengah sepuluh dan semua file itu
sudah berhasil di upload. Tetapi ada tiga pernyataan yang tidak ku masukkan
datanya karena memang tidak ada filenya. Walaupun aku sudah merasa benar
mengisi biodata dan memasukkan berkas-berkas, tetapi di web itu tidak ada
tulisan finalisasi atau apalah penyataan yang menyatakan bahwa aku sudah
berhasil memasukkan datanya. Tapi bodoh amat yang terpenting biodata sudah
disimpan. Kemudian jam sepuluh aku pulang.
Kedua,
aku tidak bilang dengan kedua orangtua bahwa aku akan mendaki gunung. Aku hanya
bilang kalau aku akan liburan ke Malang selama seminggu. Aku tahu mendapatkan
izin orang tua itu sangat penting demi keselamatan. Tapi aku juga tahu jika aku
mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan mendapatkan izin. Sementara aku
sudah menyiapkan dari jauh-jauh hari untuk pendakian itu. Sebenarnya sebelum
keberangkatan, orang tua agak curiga karena aku membawa tas besar. Mereka
bertanya-tanya kenapa aku membawa barang sebanyak itu. Aku diam saja. Kembali
ke pembahasan awal.
Aku
dan kedua temanku transit dulu di Semarang, kemudian menunggu kereta lagi
menuju ke Solo. Di Solo kami menginap di tempat saudaranya Wima. Kami mendaki
bersama kakaknya wima dan kawan-kawannya, yang katanya berjumlah sebelas orang
dan itu cowok semua—sudah bekerja. Kereta ke Malang berangkat pukul setengah
tiga pagi. Kami bertemu kakaknya wima dan dua orang temannya di stasiun Solo.
Sementara teman yang lain sudah janjian bertemu di Malang. Singkat cerita waktu
itu sekitar pukul sembilan kami tiba di Kota Lama Malang. Kemudian mencari angkot
untuk mengantar ke Pasar Tumpang dan bertemu rombongan yang lain. Satu jam
perjalanan ditempuh, akhirnya sampai juga di sana. Aku dan kedua temanku
bertemu dengan teman-teman dari kakaknya Wima. Wah gila, ini mah rombongan dewasa semua. Teman-teman kakaknya Wima
itu laki-laki dewasa semua yang ku perkirakan mereka lahir tahun 1990-1992 :D Sudah
bekerja semua. Total rombongan kami adalah 15 orang yang diantaranya hanya
terdapat empat orang cewek. Waktu itu ada sedikit rasa minder dan takut karena
ini pertama kalinya aku mendaki yang bisa ku bayangkan medannya pasti berat.
Aku tidak mau menyusahkan mereka. Waktu itu doaku kepada Tuhan hanya supaya aku
diberi kekuatan dan keselamatan. :D
Ternyata
kakaknya Wima sudah memesan mobil jeap jam sepuluh. Tapi sampai jam satu
mobilnya belum datang. Tiba-tiba cuaca berubah mendung dan akhirnya hujan turun
sangat deras. Setengah jam kemudian mobil yang akan membawa kami ke Ranupani
sampai. Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke sana. Hujan berhenti
sebelum rombongan tiba di Ranupani. Kami tiba di sana sore hari menjelang
maghrib. Kemudian mengurus simaksi, sholat dan makan sampai jam tujuh malam. Baru
jam setengah delapan kami memulai pendakian menuju Ranukumbolo. Bisa
dibayangkan waktu itu malam jumat dan harus berjalan di tengah hutan yang
gelap.
Kami
tiba di Ranukumbolo sekitar pukul setengah tiga pagi. Tempatnya penuh dengan
tenda-tenda. Gila pokoknya banyak baget!
Rombonganku mencari tempat yang agak jauh dari keramaian. Setengah jam
mendirikan tenda kemudian kami tidur.
Aku
mau bercerita sedikit tentang perjalanan dari Ranupani menuju Ranukumbolo
bersama kakak-kakak yang cuek tapi baik. Aku tidak hafal satu persatu nama
mereka. Sejak pertama kali bertemu mereka sampai dengan pendakian menuju
Ranukumbolo, mereka tidak memperkenalkan diri dan mereka juga sepertinya tidak
mau tahu siapa namaku dan kedua temanku. Aneh memang. Berjalan sambil terdiam
satu sama lain. Sesekali hanya memanggil dengan sebutan dek saja.
Ayo
dek masih kuat?
Lho
adek yang satunya mana? Itu
dibelakang mas.
Kamu
duluan dek.
Dek
minta minumnya
Ini
lho dek jajannya dimakan.
Dan
dek dek yang lain yang tidak aku ingat.
Seketika
aku berubah menjadi pendiam. Kedua temanku juga demikian. Payah! Diantara
kesebelas kakak-kakak itu kelakuannya nggak ada yang bisa diajak bercanda untuk
sekadar mencairkan suasana dan menghibur supaya perjalanan yang sangat jauh itu
tidak terasa lelahnya.
Namun
setelah beberapa jam perjalanan, sudah tampak diantara mereka tentang tingkah
laku yang sebenarnya. Aku ingat waktu itu ada satu yang selalu ngomong
sepanjang perjalanan. Namanya kak Pincok. Bukan, itu bukan namanya. Itu sebutan
nama untuknya. Orangnya cerewet tapi cuek. Gak pernah ngajak ngomong aku dan
kedua temanku.
Ini
ada empat pos tho? Pos dua ke pos tiga jauhnya sama nggak kayak pos satu ke
dua?
Aku
pengen ngrokok, tapi kok rokok membunuhmu, kalo membunuhku si gak apa-apa.
(hii apaan si gaje -__-)
Aku
sesuk bolos kerja ki cuk.
Ranukumbolo
adoh tenan yo. Tasku wes andep ki.
Kebanyakan
kakak-kakak itu asalnya dari Semarang. Tapi ada satu yang dari Jakarta. Dia
tidak bisa bahasa Jawa. Namanya bang Dip. Aku juga baru tahu waktu mau mulai
perjalanan dari Ranukumbolo menuju Kalimati.
Rombonganku
berangkat dari Ranukumbolo sekitar pukul sebelas siang. Molor lama banget
memang, karena rencananya akan berangkat sekitar pukul sembilan atau sepuluh.
Di Ranukumbolo kita harus mendaki bukit untuk menuju ke Oro-oro Ombo, yaitu
padang lavender yang sangat luas. Bukit itu namanya Tanjakan Cinta, katanya.
Selama
lo naik bukit itu dan terus mikirin orang yang lo cintai, maka apapun mimpi
tentang cinta lo bakal terwujud. Tapi ada syaratnya. Selama lo naik, lo gak
boleh sekalipun nengok ke bawah. Bener atau nggak, itu udah jadi mitos di
Mahameru. -5cm-
Iya
itu udah jadi mitos di sana. Beberapa orang percaya dan beberapa juga tidak.
Sebelum aku mendaki ke bukit itu, ku lihat orang-orang juga masih tetap nengok
ke bawah. Kenapa? Pemandangan Danau Ranukumbolo indah banget dari atas sana.
Asli, gak bohong! Tapi untuk orang yang penasaran dan ingin membuktikan mitos
itu, apa salahnya mencoba. Waktu aku naik bukit itu aku tidak memikirkan
siapapun. (Iyalah, ga ada orang yang harus dipikirin K)
. Gimana mau mikir, medannya menanjak banget sementara harus menahan beban
berat di punggung. Yang terlintas di benak hanya terus melangkahkan dua kaki
supaya bisa duduk di bawah pohon rindang yang sudah berdiri tegak di atas sana
sambil memandang orang-orang di bawah yang masih berjuang untuk naik ke atas.
Setelah
sampai di atas bukit itu, berjalan lurus beberapa meter kemudian akan terlihat
padang lavender yang sangat luas dari atas sana. Aku dan kedua temanku turun ke
Oro-oro Ombo dan mengambil gambar di sana. Kemudian melanjutkan perjalanan
menuju Kalimati.
Tiba
di Kalimati sekitar pukul empat sore, kakak-kakak itu sudah menunggu di sana
dan segera mendirikan tenda. Waktu itu tiba-tiba hujan abu turun tapi tidak
terlalu banyak dan hanya sebentar. Dingin sekali. Di Kalimati ini puncak
Mahamerunya sudah terlihat dengan jelas. Dan perjalanan menuju ke puncak,
seluruh barang-barang harus ditinggal di Kalimati.
Rombonganku
berangkat dari Kalimati menuju ke puncak sekitar pukul sebelas malam. Bisa
dibayangkan bagaimana dinginnya. Aku memakai jaket rangkap dua K.
Kali ini medannya memang berat banget. Menanjak dan licin dipenuhi batu kerikil
dan pasir. Karena sangat banyaknya pendaki yang akan ke puncak, akhirnya
perjalanan juga terhambat dan macet. Ada satu dari kakak-kakak itu yang tidak
kuat, namanya Bang Dip. Seperti yang sudah aku bilang, dia dari Jakarta. Dia
mendaki memakai celana jeans dan membawa tas yang isinya minuman dan jajan. Sesekali
dia mengeluh untuk minta berhenti.
Gua
gak kuat, capek banget.
Wajarlah
kalo gua gak kuat. Gua dari Jakarta, bro. Datar, biasa naik ojek.
Begitu
katanya. Tapi salah satu temannya memberikan semangat dan akhirnya dia bisa
melanjutkan pendakian.
Setidaknya
delapan jam harus dilalui dengan posisi tubuh merayap. Dua langkah maju, lima
langkah turun karena memang medannya licin yang dipenuhi dengan pasir. Waktu
itu rasanya aku pengen nangis dan nyerah. Takut setengah mati. Untung ada salah
satu dari kakak-kakak itu yang terus menemaniku dan satu temanku bernama Iyung.
Temanku Wima ada di depan bersama dengan kakaknya. Setelah hampir mau sampai
puncak, rombonganku memang terpisah.
Perjalanan
belum selesai, tapi langit sudah berubah warna kuning keunguan. Aku dan temanku
berhenti sejenak untuk melaksanakan sholat shubuh. Setelah itu langsung
melanjutkan perjalanan.
Tak
lama kemudian langit berubah warna lagi. Aku melihat matahari di arah timur
yang perlahan-lahan naik ke atas menampakkan dirinya, dan akhirnya lautan awan
pun terlihat di sana. Indah luar biasa! Aku melihat ke atas, puncaknya sudah
dekat. Aku dan temanku ditemani satu kakak itu, namanya kak Haris melanjutkan
pendakian.
Namun
ternyata tidak seperti apa yang dilihat. Satu jam perjalanan tidak
sampai-sampai juga ke puncak. Waktu itu rasanya aku benar-benar ingin menyerah.
Sumpah! Ku lihat temanku juga selalu tertinggal di belakang. Tapi ketika aku
berhenti untuk beristirahat, aku ingat kembali perjuangannya untuk sampai ke
sini. Perjalanan yang sangat jauh dari Ranupani menuju tempat yang sekarang ini
ku jejaki dengan menahan dingin yang luar biasa. Mengeluh tidak ada gunanya.
Puncak sebentar lagi. Bukannya mau sok bijak atau apa, tapi memang waktu itu
hanya kesabaran yang dibutuhkan. Aku melanjutkan perjalanan. Lalu satu jam
kemudian sekitar pukul 8.10 WIB aku sampai di puncak. Rombonganku sudah
menunggu di sana. Tapi belum ada bang Dip, dia masih berjuang keras di bawah.
Kami menunggunya sambil menikmati keindahan dari atas sana. Ternyata ini
puncaknya. Banyak pendaki di sana. Sibuk ke sana kemari mencari pemandangan yang
cocok untuk mengambil gambar. Dari sana bisa terlihat bukit-bukit yang
menjulang tinggi dan kumpulan awan yang seolah dekat dengan tempatmu berdiri. Kami
sampai puncak pada Sabtu, 16 Mei 2015.
Aku
lebih tinggi dari awan J
Setengah
jam kemudian sekitar pukul sembilan kurang, bang Dip sampai di puncak. Luar
biasa dia, berjuang sendirian.
Di
puncak hanya sebentar. Karena memang tidak diperbolehkan berada di puncak
sampai siang. Kami turun sekitar pukul setengah sepuluh. Untuk turun hanya
membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jalan untuk turunnya beda dengan
pemberangkatan, ini lebih dekat. Makanya hanya menghabiskan waktu satu jam. Dan
lagi-lagi bang Dip turun paling belakang. Kakak-kakak yang lain mungkin sudah
sampai duluan di Kalimati. Waktu itu aku, kedua temanku dan kakaknya Wima
berhenti untuk membersihkan wajah yang penuh dengan pasir. Beberapa menit
kemudian Bang Dip muncul dengan wajahnya yang kotor banget. Aku sempat tertawa
melihatnya.
“Bang
wajah lu kotor amat.” Kata kakaknya Wima.
“Iya
gua pinjem tisu basah dong.” Jawabnya
“Pinjem?”
ucap Wima.
“Iya
pinjem, ntar gua balikin deh.”
Asli
ada percakapan seperti itu, nggak bohong. Aku masih ingat jelas karena setelah
bang Dip bilang itu, seketika kami tertawa kecil. Dia hobi banget merokok.
Setiap kali aku lihat dia, pasti dia sedang mengepulkan asap rokoknya. Mungkin
dia kedinginan. (Merokok si nggak apa-apa, tapi maksudnya dia bawa rokok berapa
dari rumah?)
Singkat
cerita waktu itu sore hari menjelang maghrib di hari Sabtu, kami turun menuju
Ranukumbolo. Menurutku perjalanannya tidak terlalu lama karena sekitar pukul
sembilan malam kami tiba di sana menjemput dua orang dari rombongan kami yang
tidak ikut ke puncak. Iya, ada dua orang yang tidak ikut. Namanya Denis dan Pensil,
sebut saja demikian. Sebenarnya yang tidak berani ke puncak hanya satu orang,
yaitu kak Denis. Kakinya pernah diamputansi, katanya. Jadi dia takut kalau
sewaktu-waktu tidak kuat dan terjadi sesuatu. Sebenarnya aku juga bingung,
kalau kakinya pernah diamputansi kenapa dia ikut mendaki? Kenapa? Sementara kak
Pensil terpaksa menemaninya. Kasihan dia. Padahal dia yang paling rajin
membawakan barang-barang dan membantu mendirikan tenda.
Saat
tiba di Ranukumbolo, tiba-tiba kak Dip bersuara.
“Gua
kebelet, kalian duluan aja ke tenda ntar gua nyusul.”
Rempong
banget itu orang. Akhirnya kami meninggalkan dia dan menuju tenda kak Denis dan
kak Pensil. Sekitar satu jam kami di sana, membuat minuman hangat dan makan
makanan kecil sambil menunggu bang Dip kembali. Dingin, dingin banget. Mending
jalan terus daripada harus duduk menahan dingin. Rencananya kami akan
melanjutkan perjalanan turun sekitar pukul setengah sebelas malam, tapi
rombongan kurang satu. Bang Dip belum nyusul juga. Kami menunggunya lama.
Setengah jam kemudian dia muncul dengan wajah tanpa dosa.
“Lama
amat lu Dip, kita kira lu nyasar.” Salah satu dari
kakak-kakak itu bersuara.
“Ya
maap tadi gua beli pop mie bentar. Harganya limabelas ribu. Gila mahal banget.
Kalo gak laper si gua gak mau beli.” Jawabnya.
Nah
disitu aku dan kedua temanku benar-benar ketawa. Nggak ada yang lucu
sebenarnya, dan memang nggak lucu. Tapi nggak tahu kenapa rasanya pengen ketawa
aja. Kampret banget itu orang, datar banget jawabnya. Yang lain sedang sibuk
membersihkan tempat, dia malah ngerokok lagi. Akhirnya sekitar pukul sebelas
malam rombonganku melanjutkan perjalanan menuju Ranupani. Setelah setengah
perjalanan, kami putuskan untuk bermalam di tengah hutan. Waktu itu waktu
menunjukkan sekitar pukul tiga malam.
Keesokan
harinya kami melanjutkan perjalanan. Wima dan kedua kakaknya berjalan cepat di
depan. Aku di tengah ditemani dua kakak-kakak itu, namanya Kak Haris dan Kak
Ito. Sementara temanku yang lain bersama dengan sisa rombongan. Sepanjang
perjalanan itu, kakak-kakak cuek itu sudah agak akrab karena sesekali mengajak
ngobrol denganku.
“Dek
kamu izinnya orang tua gimana?” tanya Kak Ito sambil
berjalan.
Waktu
itu aku berjalan di depannya.
Kami
sampai di Ranupani sekitar pukul sembilan. Dua jam beristirahat kemudian
bersiap-siap pulang menuju Pasar Tumpang.
Sepanjang
perjalanan menuju Ranupani, kakak-kakak itu mulai mengajak ngobrol. Ada satu
yang menanyakan namaku dan temanku, namanya kak Haris—yang selalu nemenin waktu
muncak. Waktu perjalanan ke Ranupani Wima dan kakaknya ada di depan. Jadi
ceweknya cuma aku dan temenku yang di belakang bersama kesebelas cowok-cowok
itu.
Ini
adiknya mau lulusan lhooo.
Tiba-tiba
Kak Haris bersuara. Seketika semuanya nengok ke arahku dan satu temanku. Kebetulan
kami berdiri sebelahan. Aku tersenyum nyengir. Aneh banget pokoknya. Tiba-tiba
beberapa dari kakak-kakak itu bercerita tentang kisah masa SMA nya. Sesekali mereka
tertawa, kemudian aku juga ikut tertawa walaupun sebenarnya nggak ada yang
lucu. Tapi cerita-cerita itu cukup menghibur. Aku dan mereka semakin akrab.
Tapi yang disayangkan, kenapa akrabnya ketika mau pulang? Kenapa?
Ada
hal yang belum ku ceritakan.
Saat pendakian di malam hari,
langit malam indah sekali. Ribuan bintang terlihat jelas seolah-olah mereka
sangat dekat dengan tempatmu berdiri dan kamu bisa meraihnya. Saat ada jeda
untuk berhenti, aku selalu memandang ke atas. Melihat ribuan bintang itu sambil
mengucapkan syukur kepada Yang Maha Indah. Luar biasa!
Aku
dan kedua temanku sampai di Malang hari minggu siang. Kemudian menukarkan tiket
untuk pulang hari itu juga. Sebenarnya aku dan kedua temanku sudah membeli
tiket untuk pulang tapi jadwalnya hari senin. Sementara kalau kami pulang hari
senin, tidak ada tempat penginapan.
Kereta
berangkat sekitar pukul delapan malam. Saat perjalanan sampai di Semarang yaitu
sekitar pukul sembilan, aku mendapat kabar dari PTN yang menerimaku bahwa harus
mengecek kembali biodata maksimal sampai pukul satu siang. Aku sampai rumah
sekitar pukul setengah dua belas. Punya waktu satu jam lebih untuk mengecek
semua datanya. Aku bersyukur karena jika aku dan kedua temanku tidak menukarkan
tiketnya dan pulang dari Malang hari Senin, maka aku tidak bisa mengecek semua
berkas-berkas dari web PTN itu.