Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Kamis, 25 Juni 2015

Jalani Saja Dulu is Another Piece of Shit
Melalui tulisan ini, bukan berarti aku ingin mengungkit sesuatu yang sudah berlalu meskipun sebenarnya aku  mengajak pikiran untuk berputar lagi menaiki mesin waktu jauh ke masa lalu. Namun aku hanya ingin mengabadikan suatu peristiwa melalui kalimat-kalimat yang sederhana. Sebab pikiran tak cukup untuk mengingat suatu hal, barangkali ada sesuatu lain yang bisa menghapus ingatan itu. Maka melalui tulisan lah, salah satu cara untuk mengabadikannya meskipun belum tentu dibaca oleh semua orang, begitu katanya. Dengan ini juga setidaknya kita bisa jujur pada diri sendiri.

Tepat satu tahun yang lalu di tanggal yang sama, ada seseorang yang mengisi kekosongan di antara jemariku. Seseorang yang telah membuatku memendam perasaan hampir dua tahun lamanya. Dia memintaku untuk datang ke pameran buku di kota kami. Aku datang dengan perasaan berdebar sebab sudah beberapa bulan aku tak pernah mendengar kabarnya, apalagi melihat batang hidungnya. Aku melihatnya bersama dengan teman-temannya. Kemudian tak berapa lama, dia menjauh dari keramaian dan menghampiriku. Mengajak bersalaman, menyapa sambil tersenyum kepadaku. Aku duduk di sebelahnya. Diam beberapa saat. Aku menunggunya berbicara. Sebab sebelum pertemuan ini, dia berjanji akan mengatakan sesuatu kepadaku. Aku tak bisa memandang lurus ke dalam dua bola matanya sebab aku berada di sampingnya. Bisa ku rasakan lidahnya kelu, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk mengeluarkan kata-kata. Tetapi aku tetap menunggunya. Sampai akhirnya aku memberanikan diri memandang wajahnya. Dia memanggilku, yang kemudian mengatakan kalimat yang sudah lama aku tunggu.

Balikan yuk!

Bukan, bukan langsung seperti itu ucapannya. Itu hanya inti dari apa yang ingin dia katakan. Seketika ada yang menghempas dalam dada. Detak jantungku tak beraturan memainkan perasaan. Aku tak bisa berkata banyak. Ada sedikit keraguan yang terlintas, juga ada sedikit ingatan masa lalu tentang kekecewaan yang tiba-tiba datang. Namun aku sudah dibuat menunggu terlalu lama oleh kepastiannya. Dua tahun yang begitu cepat berlalu, tetapi begitu lama untuk menunggunya. Dua tahun dengan segala perasaan yang menggantung sebab dia selalu datang kemudian menghilang. Dua tahun yang sudah begitu dekat menjalin komunikasi sampai akhirnya aku ditebas dengan segala macam bentuk perhatiannya, lalu aku jatuh hati lagi. Dua tahun yang terkadang membuatku bingung apakah aku harus berhenti mengharapkannya atau aku bertahan saja. Sampai pada waktunya tiba, aku dibuat dilema. Aku terdiam sejenak. Aku mencoba meyakinkan keputusannya. 

Kalau ingin bersamaku, kamu harus bisa sabar karena sekolah kita beda arah. Kita akan jarang ketemu.

Tidak apa-apa, katanya. 

Tetap saja masih ada sedikit yang ingin membuatku meyakinkan dia. 

Tapi kamu tidak bisa main ke rumahku.

Itu adalah satu-satunya kalimat yang ku benci. Hanya itu yang menghalangi semuanya. Sebetulnya tidak apa-apa jika dia datang ke rumahku, orang tuaku juga mengenalnya. Hanya saja, aku masih merasa tidak enak dengan lingkungan sekitar. 

Kita jalani saja dulu.

Aku mengangguk sambil memandangnya, tetapi aku tidak mengatakan jawaban apapun. Dia sudah selesai dengan pembicaraannya. Aku berdiri dari tempat dudukku. Tetapi sebelum itu, ku katakan padanya bahwa aku belum bisa menjawabnya sekarang. Waktu itu suasananya memang sangat ramai. Aku menjawabnya setelah pulang dari tempat itu melalui pesan singkat. Dengan segala kemungkinan baik atau buruk, aku menerimanya. Yang kemudian entah bagaimana, aku merasa bahagia. Yang entah bagaimana juga, aku ingin selalu berusaha menjadi lebih baik untuknya. Aku bukan lagi cinta, aku menyayanginya. Entah berlebihan atau tidak, tapi aku sayang dia. Yang kemudian membuatku lupa bahwa aku terlalu menaruh harapan yang besar padanya. Hingga pada akhirnya setelah hampir empat bulan berjalan ada sesuatu yang membuat hubunganku dengannya terkoyak. Dia seperti menyembunyikan hubunganku dengannya, dia seperti tidak menyadari bahwa masih ada aku yang memilikinya, aku merasa tidak dianggap olehnya,seolah-olah aku tidak ada. Aku cemburu padanya yang sering berhubungan dengan banyak perempuan di akun jejaring sosialnya. Aku menyebut mereka pengagumnya, sebab dia merupakan salah satu anggota sebuah komunitas  yang cukup terkenal di kota kami. Sebenarnya aku tidak melarangnya berhubungan dengan siapapun, aku tidak menuntut apapun padanya. Hanya saja aku ingin mereka tahu bahwa dia sudah memiliki seseorang di hatinya. Aku hanya ingin dia menuliskan apapun yang berhubungan denganku agar mereka tahu dan bisa membatasi komunikasi dengannya dengan sewajarnya. Dia seperti tidak menjaga perasaanku. Dan bodohnya aku tidak berani untuk mengungkapkannya. Maka setelah semuanya dirasa menyesakkan dada aku mengatakan yang sejujurnya kepadanya supaya dia sadar dengan tindakannya. Namun ternyata semua tidak sesuai yang diharapkan. Aku mencoba untuk memperbaiki hubungan, namun dia memilih untuk melepaskan. Semudah itu dan secepat itu seolah-olah dia tidak ingat dengan perjuangannya yang dulu-dulu. Aku mencoba meyakinkan keputusannya tetapi tidak bisa. Dia meninggalkanku yang jelas-jelas sudah tahu bahwa aku masih menyayanginya. Masih menyayanginya. Aku tidak bisa memohon lagi, maka dengan berat hati aku harus melepaskannya. Dia meninggalkanku dengan segala macam tanda tanya tanpa ada penjelasan langsung yang keluar dari bibirnya. Berbulan-bulan aku mencoba untuk melepaskan semua yang berhubungan tentangnya namun ternyata aku belum bisa. Hingga pada akhirnya aku berjanji pada diriku sendiri untuk menemuinya suatu hari nanti. Mengatakan segala perasaan kalut yang terpendam dan bermcam-macam tanda tanya. Aku meyakinkan diri bahwa masih ada sedikit ruang untukku di hatinya, sebab dengan keyakinan itulah aku berani untuk menemuinya dan mengatakan segala perasaanku padanya. Perasaan yang berbulan-bulan terpendam yang selalu mengutukku untuk segera dikeluarkan. Aku bukan ingin mengajaknya kembali. Aku hanya ingin melihatnya sebelum akhirnya aku dan dia melangkah di jalan masing-masing, dan aku tidak ingin menjadi munafik bahwa sebenarnya aku masih menaruh perasaan padanya. Namun disaat itu tiba, hatinya sudah diisi oleh perempuan lain. Aku terlambat.

Seharusnya dari awal aku tahu, sesuatu yang kembali tak akan pernah sama lagi.
Saat itu mungkin dia belum menyadari benar tentang bagaimana perasaannya. Mungkin benar dugaanku bahwa dia tidak sepenuhnya menyayangiku. Jika dia mempunyai perasaan yang sama besarnya denganku, maka apapun yang menghalangi hubunganku dengannya, dia akan tetap berjuang dan mempertahankan. Namun dia tidak begitu, aku harus pasrah menyerah pada keadaan dan waktu yang mencoba untuk mempermainkan. Percuma juga berjuang sendirian sementara dia yang ku perjuangkan ingin dilepaskan. Seharusnya semuanya bisa diperbaiki, seharusnya semuanya bisa kembali jika semuanya juga tidak diputuskan dengan secepat itu. Lalu sekarang aku bukan lagi seseorang yang menciptakan senyum bahagianya. Ada seseorang lain yang mungkin telah membuatnya merasa utuh. Aku tidak cemburu, hanya saja aku merasa dibedakan dengan perempuan itu. Selama denganku, dia tidak sebahagia itu.

Aku menyesal belum sempat berbuat baik padanya. Sesak juga saat mengetahui bahwa diri sendiri belum bisa membuatnya bahagia. 

Tuhan, bolehkah aku tidak rela?

Rabu, 24 Juni 2015

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments