Diberdayakan oleh Blogger.
coretan busukk On Minggu, 26 April 2015

Kota Istimewa



Hujan tak kunjung reda. Sama seperti perjalanan ini yang tak kunjung sampai. Berjam-jam berada di dalam mobil terasa membosankan. Hanya duduk memandang tetesan air hujan itu dan orang-orang kehujanan. Butuh waktu berapa lama lagi agar bisa keluar dari dalam mobil yang sesak dan menginjakkan kaki di tanah ini. Hujan semakin deras. Namun tiba-tiba mobil berhenti di sebuah gang kecil yang padat, gang yang penuh dengan orang yang berlalu lalang meskipun hujan mengguyur sangat deras. Gang kecil yang hampir semuanya berisi hotel-hotel dan di depan beberapa hotel itu terdapat becak yang tertata dengan rapi ditutup oleh plastik putih transparan. Aku melihat sekeliling. Sudah sampai, batinku. Pak sopir itu menurunkanku dan kedua temanku di depan warung. Masih hujan, kami biarkan air hujan itu membasahi tubuh. Kemudian kami menepi ke warung sambil menunggu hujan reda. Hari sudah mulai gelap, tetapi hujan masih turun dan sialnya kami belum menemukan tempat penginapan.
Hujan rintik-rintik. Kami putuskan mengelilingi gang  kecil ini untuk mencari tempat penginapan. Sebetulnya yang kami jejakkan ini bukan sebuah gang, melainkan sebuah jalan bernama Dagen. Tetapi tempat ini terlalu kecil untuk disebut sebuah jalan. Mau disebut jalan atau gang itu sebenarnya tidak penting, yang terpenting adalah kami kebingungan mendapat tempat penginapan sementara semua hotel yang sudah kami datangi sudah penuh. Kalaupun ada, harganya mahal. Kami hanya pelajar sekolah menengah atas yang hanya membawa uang pas-pasan untuk sekadar mencari pengalaman. Bukan mencari tempat tidur mewah yang hanya menghabiskan uang. Langit yang mulai gelap dan dengan perasaan yang takut—takut karena kami hanya bertiga sementara tak ada orang lain yang kami kenal, mondar-mandir di kota orang. Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menghampiri kami. Entah melihat wajah kami yang lusuh dan kebingungan atau karena orang itu memang bertugas mencarikan tempat penginapan. Lelaki itu menyuruh kami untuk mengikutinya. Dengan ragu-ragu aku berjalan di belakang lelaki itu kemudian diikuti oleh kedua temanku. Kedua temanku ini pintar sekali menyuruhku berjalan duluan, mungkin mereka berpikir kalau lelaki itu tiba-tiba berbalik kemudian menculik kami, maka akulah yang tertangkap duluan. Ah, sialan mereka. Aku tetap berjalan tepat di belakang lelaki itu, sementara aku dan kedua temanku ada selisih beberapa meter. Jalan mereka lambat sekali. Sebenarnya ada perasaan takut dalam hatiku. Sebab sepanjang perjalanan ini orang itu hanya diam dan aku tidak tahu perjalanan ini akan berakhir di mana. Kedua temanku di belakang juga ikut terdiam, mungkin mereka sedang berdoa atau berpikir bagaimana cara melarikan diri. Namun tiba-tiba kami sampai di sebuah gang sempit yang hanya selebar satu setengah meter. Ternyata ada gang di dalam gang, gumamku. Gang ini sepi dan terdapat beberapa rumah dengan tembok yang saling menyatu. Di sini ketakutanku memuncak. Langkahku semakin sempit. Namun ketakutan itu lekas memudar saat lelaki itu berhenti di sebuah rumah sederhana dengan pintunya yang sedang terbuka.
“Bu ini ada yang mau mencari penginapan. Masih ada tidak?” tanya lelaki itu.
Seorang wanita dengan rambutnya yang sepanjang pundak keluar menyambut kedatangan kami. Beliau berkata bahwa masih ada beberapa kamar untuk ditempati dengan harga yang menurutku tidak terlalu mahal. Kami ambil tempat itu. Kemudian mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu dan meminta maaf karena aku sudah berburuk sangka kepadanya.
Pagi Yogyakarta. Terakhir kali menginjakkan kaki di sini sekitar lima tahun yang lalu. Akhirnya pagi yang cukup cerah ini, aku bisa menikmati hari di kota istimewa. Ini merupakan perjalanan pertamaku bersama kedua temanku yang memiliki hobi hampir sama.
Perjalanan pertama dimulai dengan mengunjungi kampus Universitas Negeri Yogyakarta dengan menaiki bus transjogja. Butuh waktu sekitar lima puluh menit untuk sampai ke sana. Dengan bermodal informasi dari petugas bus transjogja dan sebuah tablet, kami turun ke halte.
“Arahnya kemana? Kanan atau kiri?” tanya salah satu temanku.
“Lihat google map cepetan.” Jawab temanku yang lain.
Aku hanya tertawa tipis menyaksikan kesibukan mereka. Ku pandang jalanan. Tunggu, itu dia. Stadion UNY yang biasa ku lihat di televisi. Banyak mahasiswa di sana.
“Ke kanan aja.” Ucap salah satu temanku.
Ke kanan artinya menuju ke stadion yang penuh dengan mahasiswa itu. Kali ini kedua temanku tega membiarkanku berjalan sendirian di belakang.
Lurus terus, ada pertigaan. Jika belok ke pertigaan itu maka akan melewati puluhan mahasiswa yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing dan melihat stadionnya lebih dekat. Tetapi kami memutuskan untuk berjalan lurus. Ada sebuah gedung besar. Namanya Gedung Olahraga UNY. Kami duduk di depan gedung itu dan melacak posisi lagi. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya kami putuskan untuk belok ke pertigaan itu. Dengan tampang agak malu dan berpura-pura menjadi bagian dari mereka, kami berjalan lurus. Ada Fakultas MIPA di sana, masjid UNY dan stadion UNY.
Kami kembali ke halte untuk melanjutkan perjalanan kami selanjutnya. Tidak lama setelah bus melaju, aku melihat kampus utama UNY.
“Sial, kampus utamanya di sebelah kiri.” Aku mengumpat.
Perjalanan dari UNY ke UGM tidak terlalu jauh. Kami turun di depan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Banyak motor terparkir di sana. Ramai orang, karena memang letaknya yang dekat dengan rumah sakit. Kami mondar-mandir kesana-kemari. Ternyata salah arah, kampus utamanya masih jauh. Kami menaiki transjogja lagi, lalu turun di depan halte depan café. Kami bertanya orang yang berada di sana. Kami kembali menyusuri jalanan. Tidak lama kemudian, kami sampai di kampus utama UGM. Ada tulisan besar Universitas Gadjah Mada. Di sana juga banyak mahasiswa. Jika berjalan lurus sekitar dua ratus meter dari tulisan besar Universitas Gadjah Mada itu, ada gedung besar bernama Auditorium UGM, gedung yang menurutku sangat luas. Di depan gedung itu ada sebuah lapangan besar yang terdapat sebuah tiang bendera. Di sekitar auditorium itu ada tempat parkir khusus sepeda motor dan mobil yang tempatnya sangat sejuk dan rindang. Tidak hanya mobil dan motor, di sana banyak juga mahasiswa yang berangkat naik sepeda. Kami menyusuri gedung-gedungnya sampai tengah hari dan membuat sebuah video singkat.
Tengah hari yang mendung. Langit menyembunyikan awan. Angin bertiup perlahan, menyusup melalui celah-celah jendela bus. Rasa lelah berkejaran dengan langit yang hendak menangis. Tak sampai beberapa menit, langit memenangkan perlombaan. Perjalanan kami hendak menuju ke taman pintar yang letaknya tidak jauh dari Malioboro, hujan turun dengan lebat.
Setelah sampai di taman pintar, hujan sudah agak reda. Bus yang kami naiki berhenti tepat di depan taman pintar karena memang haltenya ada di sana. Aku dan kedua temanku segera masuk lalu membeli tiket. Namanya juga taman pintar, jadi banyak hal yang dapat dipelajari dari sana. Mulai dari sejarah Indonesia, ilmu fisika, tata kota, olahraga hingga luar angkasa. Tak heran juga kalau banyak pelajar mulai dari TK hingga sekolah menengah pertama ada di sana.
Hujan rintik-rintik, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya adalah taman sari. Taman sari adalah bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I sekitar tahun 1758. Kata salah satu temanku, letaknya tidak terlalu jauh dari taman pintar. Untuk itu, kami berjalan kaki. Sepanjang perjalanan rasanya aku ingin memaki temanku yang tadi mengatakan bahwa jaraknya tidak terlalu jauh. Sebab sudah berjalan ratusan meter tetapi tak kunjung sampai. Sementara kakiku sudah tidak sanggup lagi menahan beban tubuh untuk terus berjalan dan jari-jari kakiku terasa panas karena sepatu yang ku pakai sepertinya tidak lagi berfungsi dengan baik. Rasanya aku ingin melepas sepatu lalu membuangnya. Sepatu sialan, gumamku.
Tidak lama kemudian, kami sampai di kawasan taman sari. Tetapi kami tidak tahu pintu masuk menuju ke taman sari. Lalu kami berjalan lagi beberapa meter. Sepanjang perjalanan itu aku selalu berjalan di belakang, sendirian. Sementara kedua temanku selalu bersama di depan. Kurang ajar!
Salah satu temanku bertanya kepada penduduk yang tinggal di sana. Aku hanya terdiam menyaksikan percakapan mereka. Ternyata pintu masuknya sudah kami lewati. Terpaksa kami berjalan lagi ke tempat semula.
Kami membeli tiket yang harganya hanya lima ribu rupiah per orang. Di sana terlihat jelas bangunan yang sangat kuno. Di setiap bangunan itu terdapat dua sampai empat lorong yang gelap di samping kanan dan kiri. Kemudian kami berjalan lurus lagi dan menemui beberapa tangga gelap dan lebar untuk menuju bangunan utamanya, yaitu sebuah bangunan yang terdapat kolam di tengahnya.
Berkeliling kawasan taman sari hanya sebentar, sebab waktu sudah menunjukkan pukul dua siang sementara aku dan kedua temanku belum melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Tidak perlu berjalan lama karena masjid yang dicari ada di sebelah pintu keluar.
Setelah melaksanakan kewajiban aku dan kedua temanku beristirahat sebentar di depan masjid sambil bercanda, melempar-lempar botol minuman yang sudah habis hingga tertawa terbahak-bahak di sana. Lupa kalau masih ada segelintir orang yang sedang melaksanakan ibadah. Sampai akhirnya ada seorang lelaki tua yang berkomentar, memarahi tingkah laku kami yang kelewatan. Ah, bapak ini tidak tahu kalau tindakan konyol semacam ini justru membuat kami bahagia. Akhirnya kami meninggalkan tempat itu kemudian berjalan lagi ke tujuan selanjutnya.
“Ke alun-alun Jogja ya?” tanyaku kepada salah satu temanku bernama Wima, yang menjadi tourguide perjalanan kami sepanjang hari.
Dia mengangguk. Katanya tempatnya agak jauh. Aku menghela napas. Bukan karena perjalananku dilalui dengan berjalan kaki—justru hal ini merupakan sesuatu yang menyenangkan. Bisa melihat sekeliling dengan dekat di bawah langit mendung Kota Jogja, tetapi sepatu yang ku pakai ini sepertinya sudah tidak layak pakai. Membuat jari-jari terasa panas.
Kami sampai di alun-alun Jogja yang masih ramai dengan beberapa lelaki dewasa. Salah satu di antara mereka sedang mencoba berjalan dengan mata tertutup dari pinggir lapangan alun-alun sampai melewati dua pohon beringin kembar yang ada di sana. Kami mendekat menuju dua pohon beringin itu kemudian mengambil gambar sambil meyaksikan keasikan mereka mencoba berjalan melewati dua pohon besar itu yang selalu gagal. Konon katanya jika berhasil berjalan melewati dua pohon beringin dengan mata tertutup, maka apapun yang diinginkan akan terkabul. Mungkin ini hanya mitos, jadi mau percaya atau tidak itu tergantung pemikiran masing-masing.
Hari semakin sore, langit masih mendung. Kami melanjutkan perjalanan menuju Monumen Jogja Kembali. Perjalanan ke sana harus dilalui dengan menaiki bus transjogja lagi. Tetapi kami harus berjalan menuju jalan raya untuk menemukan halte.
Kali ini aku dan kedua temanku berjalan sangat jauh. Temanku yang menjadi tourguide itu tidak tahu letak haltenya di mana. Kita telusuri saja pasti ketemu, katanya. Lagi-lagi aku harus menahan sakit karena sepatu yang ku pakai. Aku berjalan dengan agak terpincang sebenarnya. Aku bersumpah setelah sampai di penginapan nanti, akan ku buang sepatu sialan itu. Karena sudah berjalan agak lama tetapi kami belum juga menemukan halte, akhirnya salah satu temanku bertanya kepada ibu-ibu yang sedang menyapu halaman rumah.
“Wah dek, haltenya masih jauh. Kalian jalan lurus aja terus.” Jawab ibu itu.
Setelah berjalan sangat jauh, akhirnya halte yang dicari sudah terjangkau mata. Langkah demi langkah ku jejakkan agar aku bisa segera duduk di halte itu dan melepas sepatu. Ada dua halte di sana yang berjarak sekitar lima puluh meter dari satu halte ke halte yang lain. Aku dan kedua temanku berhenti di halte yang pertama dan langsung bicara tujuan perjalanan kami kepada petugas halte. Tetapi petugas halte itu menyarankan agar kami pindah ke halte yang lain. Kami berjalan lagi ke halte yang letaknya tidak terlalu jauh.
Kami sampai di Monumen Jogja Kembali sekitar pukul enam sore. Aku langsung turun bus dan menyeberang jalan raya. Sementara kedua temanku tertinggal di belakang. Aku membeli tiket, melepas sepatu kemudian berlari tanpa alas kaki mencari tempat duduk. Mungkin jika ada orang lain yang melihat, mereka mengira aku bertingkah seperti orang aneh. Bodoh sekali, kakiku sudah tidak kuat menahan sepatu yang sepertinya sudah rusak. Aku menemukan tempat duduk yang tidak jauh dari pintu masuk. Ku lihat kedua temanku sedang memesan tiket. Mereka berjalan dengan santai menyaksikanku dari kejauhan.
Langit sudah gelap. Lampu sudah mulai dinyalakan. Di sini juga terdapat taman lampion dengan beraneka bentuk. Indah sekali, terkesan romantis. Pikiranku kemana-mana, seandainya aku bisa ke sini dengan orang terdekat.
Kami melanjutkan perjalanan pukul delapan malam dari Monumen Jogja Kembali untuk pulang ke penginapan yang tidak jauh dari Malioboro. Sebelum kembali ke penginapan, aku dan kedua temanku jalan-jalan malam di sekitar Malioboro untuk membeli sesuatu. Aku membeli sepasang sandal yang langsung ku pakai karena sepatu sialan itu telah membuat jari-jari kakiku bengkak. Selain sandal, aku juga membeli beberapa kaos untuk temanku. Teman, iya teman.
“Tulisan kaosya ‘Tak Tunggu ning Jogja’ cieee…” salah satu temanku bersuara. Aku terdiam.
Sebenarnya aku sudah mengambil kaos itu, tetapi aku masih mencari yang lain barangkali ada yang lebih bagus. Ternyata tidak. Lupakan soal kaos, karena ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lebih. Aku dan kedua temanku mencari makan malam kemudian pulang ke penginapan sekitar pukul sepuluh.
Perjalanan melelahkan tetapi menyenangkan. Masih ada satu hari lagi menghabiskan waktu di Yogyakarta. Namun menurutku hari ini merupakan hari paling mengesankan. Kota istimewa dengan tempat-tempatnya yang juga istimewa. Jika suatu hari nanti ada waktu, aku ingin kembali lagi ke kota istimewa ini bersama orang yang juga istimewa. Semoga.


Juni 2014

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments